Setelah
3 BANGSA, aku pikir aku tak akan menulis entri “serius” seperti itu lagi dalam
kurun waktu cukup lama. Awalnya hanya ingin aku tulis sebagai “obrolan” santai,
tapi setelah kupikir-pikir aku ingin membahasnya lebih mendalam. Yah, meskipun
aku harap kalian tidak memendam ekspektasi yang terlalu tinggi.
Mungkin
tulisan ini diperuntukkan untuk kalian, anak-anak 90-an yang senang menonton
kartun di minggu pagi.
Kuawali
dengan doa, semoga bermanfaat.
Berbicara
tentang anak 90-an, meme mengenai kenangan masa kecil anak tahun 90-an sudah
banyak berkeliaran di berbagai media sosial. Bahkan mungkin kalian yang bukan
anak 90-an pernah melihatnya. Setiap masa memang ada kenangannya masing-masing.
Kenangan baik maupun buruk. Kenangan akan permainannya, makanannya, mitos-mitos
konyol, dan juga tontonan. Anak 90-an pasti bisa menyebutkan kartun-kartun apa
saja yang pernah tayang di televisi pada zaman mereka.
Awalnya menonton kartun dan/atau anime sebagai ‘kartun’. Tertarik karena gambarnya, full color, cerita yang imajinatif. Begitu pula aku. Melihatnya asli sebagai hiburan anak-anak. Benar-benar melihatnya dari presfektif anak-anak. Namun beberapa diantara anak-anak itu, sampai sekarang masih menikmati ‘kartun’. Salah satunya aku, yang lebih condong ke anime (kartun Jepang). Anime memang menghilang dari layar televisi, tapi jujur, aku tak tahu “kenapa aku harus mengharapkan anime-anime itu ditayangkan lagi di televisi?”. Terlebih anak-anak sekarang tumbuh kembangnya tak dibarengi dengan pengawasan yang cerdas, berkualitas. Kekhawatiran akan dampak negatif karena anak-anak diberikan kebebasan oleh orang tuanya untuk mengakses internet pada usia yang belum tepat pasti ada, Karena anak-anak ini dianggap belum mengetahui bagaimana seharusnya sikap terhadap globalisasi atau belum cukup mengerti alasan kenapa suatu hal lebih baik tak dilakukan. Itu yang membuatku tak terlalu mempermasalahkan anime tak lagi tayang di televisi meskipun teman-teman memprotesnya. Toh, untuk menonton, menikmati anime di jaman sekarang itu mudah. Dengan televisi kabel, streaming di internet, bahkan rekaman penayangan anime di Jepang yang sudah dibubuhi subtitle Indonesia pun banyak. Aku acungi jempol untuk mereka pengelola website tempat download anime-anime ini. Bukan karena bersyukur aku jadi bisa puas mendownload anime lalu menontonnya. Aku hanya dibuat kagum oleh orang-orang itu yang dapat melakukan suatu hal yang tak bisa aku lakukan. Aku baru mengenal internet ketika duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama. Dan dimasa itupun, aku masih bisa menikmati anime di televisi. Aku belum mengenal situs-situs yang setia memberikan anime gratis semacam itu. Dan ketika menyapa mereka, “Wah, situs seperti ini sudah ada sejak kapan ya? Pengelolanya pasti penggila anime” dan lain sebagainya pun terkadang membuatku ingin bertanya-tanya pada si pendiri situs. Dan seperti biasa, aku hanya ingin mencurahkan apa yang aku pikirkan. Karena aku bukan pengamat anime, jadi aku harap kalian tak menjadikan pendapatku ini sebagai teori.
Aku penasaran, ingin tahu, bagaimana
perasaan dan apa pendapat kalian-kalian yang menonton anime dari zaman Naruto,
One Piece, Bleach, Detective Conan, Dragon Ball, Doraemon, Shinchan dan
kawan-kawannya, sampai anime-anime baru sekarang.
Naruto, One Piece. Kalau boleh aku sebut,
anime legenda. Jumlah episodenya ratusan. Seperti sinetron. Tapi dengan cerita dan
keseruan berbeda tentunya. Bahkan Detective Conan, One Piece, ceritanya masih
berlanjut hingga sekarang. Anime-anime seperti itu sangatlah berjaya di
masanya. Sampai saat ini pun sebenarnya masih enak dinikmati. Tak kenal kata
bosan. Ceritanya kompleks. Setiap episodenya pasti bagus, menarik, seru. Walau
sebenarnya aku tidak melanjutkan menontonnya lagi karena sudah tertinggal jauh.
Sebenarnya entah hanya karena aku tak
mengetahui step by step perkembangan anime atau karena hanya tahu mengenai
seluk beluk industri anime baru-baru ini, tapi satu kata yang tak pernah aku
sematkan di anime ketika aku masih sekolah dulu, kini aku mulai menyuarakannya
meskipun dalam hati atau hanya lewat tulisan. “Membosankan”. Tak sepenuhnya dalam
arti sesungguhnya. Maksudku, tak sepenuhnya, tak 100% dan tak berarti dari
semua aspek atau semua anime. Mungkin lebih tepatnya, “industri anime”nya.
Pertama, memang pengarang yang dapat
membuat cerita seperti Naruto, One Piece, pada masa itu tidak banyak. Masa
sekarang pun tetap kata ‘tak mudah’ tidak boleh dilupakan dalam hal membuat
cerita seperti itu. Tak mudah mencari cara penyampaian cerita yang mampu
membuat cerita itu tertanam di hati penikmatnya. Cerita yang mampu membawa
komiknya diadaptasi menjadi anime, dan terkenal. Karya berkualitas pun tak
harus memiliki cerita komplek dan episode yang banyak. Meskipun anime
berepisode banyak atau berseason banyak di masa sekarang masih ada.
Menurutku, berdasarkan apa yang aku
rasakan, aku hanya orang yang sedang berada di titik kejenuhan akan suatu hal
yang sudah ia tekuni dari lama. Meskipun dalam kasusku, aku tidak ‘tekun’.
Ketika anak-anak dulu, mengenal film animasi dengan ceritanya yang imajinatif,
adalah hal yang luar biasa. Seperti menemukan mainan baru yang beratus kali
lipat jauh lebih menarik dari mainan lamanya. Karena ‘anak-anak’ sama dengan ‘imajinasi’.
Di situ titik awalnya. Semakin lama, mengenal anime, menonton anime lain dengan
cerita berbeda, membaca banyak komik, semakin suka. Hingga dari yang dulunya
hanya seorang anak yang terbatas hanya bisa ‘diberi makan’ cerita sihir dan
hal-hal tak masuk akal lainnya, sampai tumbuh menjadi anak muda, remaja, yang
dapat mencerna cerita berat seperti serial detektif atau bahkan sekarang yang
cara mengkonsumsinya sudah masuk ke level mereview anime dengan cerita lebih
rumit, contohnya, dan mengkritisinya. Kemudian, ketika kebutuhan akan cerita
yang membuat penikmat anime lebih memeras otak, tak terpenuhi, disitulah puncak
kebosanannya. Kebutuhan cerita yang lebih orisinil. Atau, tak harus ide baru
sebenarnya. Ambillah contoh ceritanya sama-sama menitikbesarkan pada amanat
bahwa kita harus menolong orang lain, namun cara menyampaikan amanat itu dengan
cara yang berbeda, yang terpenting amanat itu tersampaikan hingga melekat di
hati penonton atau penikmat cerita.
Soal ini, dari sini dan seterusnya mungkin
akan lebih banyak membahas tentang anime-anime sekarang. Sebelumnya, anime yang
aku rekomendasi bisa dihitung jari. Kilas balik sedikit, Death Note, tak hanya
aku, media Jepang, terutama, juga menuliskan bahwa anime atau cerita ini adalah
cerita terbaik hingga saat ini. Sementara untuk anime sekarang, anime yang
ingin aku rekomendasikan ke orang-orang selalu aku review di blog. Ya,
diantaranya ada Zankyou no Terror, Hai to Gensou no Grimgar, Boku Dake ga Inai Machi, dan yang tak aku review tapi aku rekomendasikan, Ace of Diamond atau
Daiya no Ace. Serta, ada satu anime di tahun ini, anime summer, yang muncul dan
membuatku ingin mereviewnya ditengah-tengah suasana hatiku yang merasa bosan
dengan anime-anime sekarang, Fukigen na Mononokean. Tunggu saja reviewnya, ya.
Jadi, seperti itulah. Anime yang membuatku
tak menyesal menontonnya. Sementara anime yang lain? Apa yang membuatku jenuh?
Bukan jenuh, hanya merasa gemas mungkin. Lebih tepatnya, aku tak mendapatkan hal
yang bisa aku ambil dari anime atau cerita itu. “Amanat di setiap karya itu
banyak. Tapi yang tertanam di hati penikmatnya tak selalu ada dan tak sama
karena penikmat yang kisah hidup dan latar belakangnya berbeda-beda”, selalu
itu yang ingin kuingat. Berbeda cara menikmati Naruto dan kawan-kawannya, kini
cara pandangku terhadap dunia berubah sesuai umur. Anak-anak ingin tontonan
yang seru dan berwarna, orang dewasa ingin tontonannya yang bisa menyadarkannya
tentang arti hidup. Kira-kira seperti itulah aku berpikir.
Anime sekarang tak hanya diadaptasi dari
anime atau game, tapi juga novel, dan project. Project ini juga salah satu yang
melahirkan anime idol, katakanlah. Terutama anime-anime idol ini, yang mungkin
membuatku melihat bahwa anime-anime ini menjual karakter dan lagu. Atau mungkin
dari menjual karakter mereka jadi bisa menjual lagu. Intinya, bukan karena
cerita. Meskipun mungkin, anime, yakni menyampaikan cerita melalui gambar dua
dimensi atau tiga dimensi-lah yang menjadi nilai jualnya. Namun sama halnya
dengan musik, lukisan, dan tarian. Setiap karya pasti mengandung makna. Dan
ketika penggemar menyukai karya bernama anime tersebut hanya karena karakter,
dari situlah banyak pertanyaan muncul di benakku.
Kedua. Aku mulai menilik anime lagi ketika
sudah masuk perguruan tinggi, setelah lama tak ada tayangan kartun di televisi.
Dengan situs khusus tentang anime, aku melihat lebih banyak dibandingkan hanya
dengan melihat di televisi. Di sana ada komentar penikmat anime yang lain, ada
ulasan, dan informasi tentang anime. Dan aku juga mendapatkan informasi lain
yang berkaitan dengan karya tersebut, seperti goods atau merchandise, drama
panggung, event, live action, kolaborasi dan lain sebagainya.
Untuk goods atau merchandise, hal seperti
itu sudah lama memang sepertinya. Mungkin juga bisnis anime menjanjikan karena itu
salah satunya. Penggemar pasti tergiur dengan kata ‘Limited Edition’ dan jurus
pemasaran lainnya. Aku tak bilang salah. Uang, uang mereka, bagus kalau memang
itu benar-benar uang hasil kerja keras mereka sendiri. Terserah mereka menggunakannya
untuk apa, aku tak punya hak untuk melarang.
Dubber atau seiyuu dalam bahasa Jepang,
menjadi topik yang sudah banyak diperbincangkan sekarang ini, tidak seperti
dulu. Pengisi suara karakter-karakter dalam anime One Piece atau Naruto, yang
notabene sudah berumur pun mungkin saja baru-baru ini merasakan yang namanya event
meskipun kecil. Bertemu penggemar One Piece dan merasakan menjadi pemain di
balik layar tetapi muncul di depan publik. Bahkan event anime Naruto tak ada
rasanya. Entahlah. Tapi anime sekarang, hampir semua mengadakan event. Menjual
tiketnya. Menampilkan para pengisi suara, berbincang tentang karya tersebut,
bermain game atau semacamnya. Lalu setelah beberapa pekan mengeluarkan DVD dari
event tersebut untuk kemudian dijual. Dari situ pulalah, beberapa dubber muda
saat ini namanya naik daun.
Drama panggung. Karya itu bermacam-macam
termasuk teatrikal. Tak salah, apalagi dengan pemikiran, “mengusung cerita dari
sebuah karya yang sedang booming di masyarakat saat ini, mampu menaikkan pamor sebuah
karya seni bernama teater atau drama panggung”. Akhirnya banyak pihak yang
mencoba menampilkan cerita dari anime yang sedang terkenal keatas panggung
teater. Tak buruk. Bahkan tiga diantara yang pernah aku lihat, aku akui mempunyai
nilai tersendiri dimataku.
Tak seperti teater yang sepertinya
baru-baru ini mengangkat cerita dari anime atau manga (komik Jepang), live
action juga drama yang diangkat dari cerita anime sudah banyak yang
memproduksi. Ada film ada juga drama. Ada yang mendapat respon baik, ada juga
yang tidak.
Drama panggung dan live action yang
didasarkan pada cerita manga adalah dua karya yang pembuatannya di bawah
tekanan. Tekanan akan ekspetasi penggemar karya aslinya. Apakah para pemain
dapat memainkan karakter dengan baik, baik secara fisik maupun kepribadian?
Apakah dua karya ini mampu menyampaikan cerita dengan tensi yang sama seperti
yang penggemar rasakan ketika menikmati karya aslinya?
Ada satu hal baru-baru ini yang ingin aku
bahas sedikit. Mengungkapkan isi hati. Maaf, membuat semakin malas membaca.
Death Note, yang tadi aku sebut merupakan
salah satu karya dengan cerita terbaik sampai saat ini, ceritanya telah
dibawakan dengan live action, sebagai drama maupun film, juga dengan teater,
lebih tepatnya drama musical. Awalnya, ketika melihat berita tentang serial dramanya
aku penasaran, “Hebat juga mereka dapat mengangkat ceritanya sampai sekarang.
Padahal Death Note adalah karya yang cerita komiknya telah tamat di majalah
komik tahun 2006 dengan rapi”. Namun, melihat serial dramanya, menurutku tak
buruk. Tapi tak bisa juga aku katakan bagus walau dengan cara mengakhiri kasusnya
yang berbeda. Kemudian, di film yang saat ini sedang banyak diperbincangkan dan
dinantikan peluncurannya, beberapa berita yang mengatakan bahwa L dan Light
Yagami generasi pertama muncul kembali membuatku untuk kesekian kali
mengerutkan kening. “Kenapa?” Film kali ini berlatarkan setelah peristiwa di
cerita aslinya selesai. Dan dua tokoh yang sudah tewas bangkit kembali. Aku
tahu ini anime, apapun itu bisa saja terjadi termasuk hal tak masuk akal
seperti itu. Tapi aku tak bisa berbohong bahwa sangkaan terkadang muncul
dibenakku. “Apakah mereka ingin menaikkan rate film ini dengan L dan Light yang
kita tahu adalah dua tokoh yang paling digemari dari karya ini? Apakah tidak
bisa dengan tokoh lain? Tokoh yang meskipun itu bukan L dan Light, tapi bisa
membawa suasana pertarungan seru seperti L dan Light dulu. Kecerdasan pemecahan
kasus, daya analisis, hal-hal yang membuat pertarungan mereka menjadi seru
seperti itu bukankah ciptaan sang pengarang? Bukan L dan Light yang memiliki
kepintaran itu, tapi sang pengarang, komikus, sang pembuat cerita yang
membuatnya. Siapa yang akan melakukan strategi A, strategi B, pengarang yang
menentukan. Pun pengarang memutuskan strategi itu akan dijalankan oleh karakter
baru, selama strategi itu cerdik, dan mampu membawa suasana pertarungan menjadi
panas tak masalah menurutku. Bahkan mungkin si karakter baru ini akan disukai
banyak orang dan masuk di jajaran karakter favorite dari cerita Death Note
bersama L dan Light. Tapi ya sudahlah, kita lihat bagaimana filmnya nanti
karena ceritanya yang memang berbeda, jadi kita tidak bisa memprediksinya.
Selain live action, merchandise dan
sebagainya, ada juga novel. Beberapa anime yang aku tahu misalnya, Naruto dan
Death Note, mengeluarkan karya yang lain yakni novel. Dengan cerita berbeda,
ada juga yang ceritanya sama hanya saja menceritakan dari sudut pandang yang
berbeda. Mau dibawakan dengan cara apapun itu, meskipun ceritanya sama, namun
teater adalah karya yang berbeda, bermain peran dalam film adalah karya yang
berbeda, novel lagi-lagi karya yang berbeda dengan yang lain. Semoga kita tak
lupa bahwa masing-masing karya tersebut mempunyai cirinya masing-masing dalam
membawakan cerita yang sama. “Bagaimana dengan karya ini? Bagaimana cara karya
ini membawakan cerita yang sama?”, itulah yang menjadi tantangan pekerja di
masing-masing karya.
Pergantian musim di Jepang terjadi sekitar
tiga bulan sekali. Dan setiap pergantian musim pasti banyak anime baru yang
muncul.
Jika boleh aku katakan, aku jenuh dan
bosan karena bisnis mulai terlihat ke permukaan. Sangat terasa malah. Dulu
memang bukan berarti tak ada bisnis di industri anime itu, tapi sekarang “haus
keuntungan”nya sangat terlihat. Semoga saja semangat menghasilkan karya yang berkualitas,
cerita yang berbobot tak benar-benar hilang hanya karena mengikuti keinginan
masyarakat.
Sama seperti di Indonesia, ups. Semoga saja, berita yang diangkat, dibahas media bukan berita yang diinginkan masyarakat saja, apalagi kita tahu masyarakat kita tak sedikit yang lebih menyukai berita soal orang lain yang tak ada hubungannya dengan negara, serta mudah terbawa isu juga menjadi saah satu ciri masyarakat kita. Aku berharap media di sini menjadi media yang mendidik, netral, dan benar-benar memberikan informasi yang contohnya saja bisa membuka wawasan dan pikiran masyarakat kita terhadap dunia, tentu saja fakta. Mungkin ‘NETRAL’ adalah kata yang sensitif untuk media kita saat ini.
Sama seperti di Indonesia, ups. Semoga saja, berita yang diangkat, dibahas media bukan berita yang diinginkan masyarakat saja, apalagi kita tahu masyarakat kita tak sedikit yang lebih menyukai berita soal orang lain yang tak ada hubungannya dengan negara, serta mudah terbawa isu juga menjadi saah satu ciri masyarakat kita. Aku berharap media di sini menjadi media yang mendidik, netral, dan benar-benar memberikan informasi yang contohnya saja bisa membuka wawasan dan pikiran masyarakat kita terhadap dunia, tentu saja fakta. Mungkin ‘NETRAL’ adalah kata yang sensitif untuk media kita saat ini.
Jadi, kembali ke penutupan. Semua yang aku
tulis di blogku bukanlah sesuatu yang dapat dijadikan dasar apalagi teori. Ini
hanya pendapatku yang masih belajar. Pendapat dari apa yang aku rasakan secara
pribadi. Selain itu, di tambah dengan entri ini, semua reviewku mengenai anime
atau sebuah karya aku rasa hanya melihat dari aspek ceritanya, karena aku tak
mengerti bagaimana kriteria membuat manga, bagaimana bermain peran, berakting
yang baik. Jadi, aku harap setelah membaca review ini, kalian juga akan membaca
ulasan-ulasan tentang anime dari orang lain juga, agar kalian bisa memilah dan
tak menelan apa yang masuk ke otak kalian mentah-mentah.
Mungkin satu kata lagi, “Aku rindu cerita
orisinil,” meskipun aku sendiri tak jago membuatnya. Aku rindu ditampar.
Tamparan yang menyadarkanku akan nilai hidup sekecil apapun itu.
Selamat berkarya!
Jayalah Indonesiaku!
Salam. :)b
Tidak ada komentar:
Posting Komentar