Blogger Widgets

Senin, 17 Oktober 2016

Lebih Kangen dari Naruto

Setelah 3 BANGSA, aku pikir aku tak akan menulis entri “serius” seperti itu lagi dalam kurun waktu cukup lama. Awalnya hanya ingin aku tulis sebagai “obrolan” santai, tapi setelah kupikir-pikir aku ingin membahasnya lebih mendalam. Yah, meskipun aku harap kalian tidak memendam ekspektasi yang terlalu tinggi.


Mungkin tulisan ini diperuntukkan untuk kalian, anak-anak 90-an yang senang menonton kartun di minggu pagi.

Kuawali dengan doa, semoga bermanfaat.





Berbicara tentang anak 90-an, meme mengenai kenangan masa kecil anak tahun 90-an sudah banyak berkeliaran di berbagai media sosial. Bahkan mungkin kalian yang bukan anak 90-an pernah melihatnya. Setiap masa memang ada kenangannya masing-masing. Kenangan baik maupun buruk. Kenangan akan permainannya, makanannya, mitos-mitos konyol, dan juga tontonan. Anak 90-an pasti bisa menyebutkan kartun-kartun apa saja yang pernah tayang di televisi pada zaman mereka.

Awalnya menonton kartun dan/atau anime sebagai ‘kartun’. Tertarik karena gambarnya, full color, cerita yang imajinatif. Begitu pula aku. Melihatnya asli sebagai hiburan anak-anak. Benar-benar melihatnya dari presfektif anak-anak. Namun beberapa diantara anak-anak itu, sampai sekarang masih menikmati ‘kartun’. Salah satunya aku, yang lebih condong ke anime (kartun Jepang). Anime memang menghilang dari layar televisi, tapi jujur, aku tak tahu “kenapa aku harus mengharapkan anime-anime itu ditayangkan lagi di televisi?”. Terlebih anak-anak sekarang tumbuh kembangnya tak dibarengi dengan pengawasan yang cerdas, berkualitas. Kekhawatiran akan dampak negatif karena anak-anak diberikan kebebasan oleh orang tuanya untuk mengakses internet pada usia yang belum tepat pasti ada, Karena anak-anak ini dianggap belum mengetahui bagaimana seharusnya sikap terhadap globalisasi atau belum cukup mengerti alasan kenapa suatu hal lebih baik tak dilakukan. Itu yang membuatku tak terlalu mempermasalahkan anime tak lagi tayang di televisi meskipun teman-teman memprotesnya. Toh, untuk menonton, menikmati anime di jaman sekarang itu mudah. Dengan televisi kabel, streaming di internet, bahkan rekaman penayangan anime di Jepang yang sudah dibubuhi subtitle Indonesia pun banyak. Aku acungi jempol untuk mereka pengelola website tempat download anime-anime ini. Bukan karena bersyukur aku jadi bisa puas mendownload anime lalu menontonnya. Aku hanya dibuat kagum oleh orang-orang itu yang dapat melakukan suatu hal yang tak bisa aku lakukan. Aku baru mengenal internet ketika duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama. Dan dimasa itupun, aku masih bisa menikmati anime di televisi. Aku belum mengenal situs-situs yang setia memberikan anime gratis semacam itu. Dan ketika menyapa mereka, “Wah, situs seperti ini sudah ada sejak kapan ya? Pengelolanya pasti penggila anime” dan lain sebagainya pun terkadang membuatku ingin bertanya-tanya pada si pendiri situs. Dan seperti biasa, aku hanya ingin mencurahkan apa yang aku pikirkan. Karena aku bukan pengamat anime, jadi aku harap kalian tak menjadikan pendapatku ini sebagai teori.

Aku penasaran, ingin tahu, bagaimana perasaan dan apa pendapat kalian-kalian yang menonton anime dari zaman Naruto, One Piece, Bleach, Detective Conan, Dragon Ball, Doraemon, Shinchan dan kawan-kawannya, sampai anime-anime baru sekarang.







Naruto, One Piece. Kalau boleh aku sebut, anime legenda. Jumlah episodenya ratusan. Seperti sinetron. Tapi dengan cerita dan keseruan berbeda tentunya. Bahkan Detective Conan, One Piece, ceritanya masih berlanjut hingga sekarang. Anime-anime seperti itu sangatlah berjaya di masanya. Sampai saat ini pun sebenarnya masih enak dinikmati. Tak kenal kata bosan. Ceritanya kompleks. Setiap episodenya pasti bagus, menarik, seru. Walau sebenarnya aku tidak melanjutkan menontonnya lagi karena sudah tertinggal jauh.


Sebenarnya entah hanya karena aku tak mengetahui step by step perkembangan anime atau karena hanya tahu mengenai seluk beluk industri anime baru-baru ini, tapi satu kata yang tak pernah aku sematkan di anime ketika aku masih sekolah dulu, kini aku mulai menyuarakannya meskipun dalam hati atau hanya lewat tulisan. “Membosankan”. Tak sepenuhnya dalam arti sesungguhnya. Maksudku, tak sepenuhnya, tak 100% dan tak berarti dari semua aspek atau semua anime. Mungkin lebih tepatnya, “industri anime”nya.



Pertama, memang pengarang yang dapat membuat cerita seperti Naruto, One Piece, pada masa itu tidak banyak. Masa sekarang pun tetap kata ‘tak mudah’ tidak boleh dilupakan dalam hal membuat cerita seperti itu. Tak mudah mencari cara penyampaian cerita yang mampu membuat cerita itu tertanam di hati penikmatnya. Cerita yang mampu membawa komiknya diadaptasi menjadi anime, dan terkenal. Karya berkualitas pun tak harus memiliki cerita komplek dan episode yang banyak. Meskipun anime berepisode banyak atau berseason banyak di masa sekarang masih ada.

Menurutku, berdasarkan apa yang aku rasakan, aku hanya orang yang sedang berada di titik kejenuhan akan suatu hal yang sudah ia tekuni dari lama. Meskipun dalam kasusku, aku tidak ‘tekun’. Ketika anak-anak dulu, mengenal film animasi dengan ceritanya yang imajinatif, adalah hal yang luar biasa. Seperti menemukan mainan baru yang beratus kali lipat jauh lebih menarik dari mainan lamanya. Karena ‘anak-anak’ sama dengan ‘imajinasi’. Di situ titik awalnya. Semakin lama, mengenal anime, menonton anime lain dengan cerita berbeda, membaca banyak komik, semakin suka. Hingga dari yang dulunya hanya seorang anak yang terbatas hanya bisa ‘diberi makan’ cerita sihir dan hal-hal tak masuk akal lainnya, sampai tumbuh menjadi anak muda, remaja, yang dapat mencerna cerita berat seperti serial detektif atau bahkan sekarang yang cara mengkonsumsinya sudah masuk ke level mereview anime dengan cerita lebih rumit, contohnya, dan mengkritisinya. Kemudian, ketika kebutuhan akan cerita yang membuat penikmat anime lebih memeras otak, tak terpenuhi, disitulah puncak kebosanannya. Kebutuhan cerita yang lebih orisinil. Atau, tak harus ide baru sebenarnya. Ambillah contoh ceritanya sama-sama menitikbesarkan pada amanat bahwa kita harus menolong orang lain, namun cara menyampaikan amanat itu dengan cara yang berbeda, yang terpenting amanat itu tersampaikan hingga melekat di hati penonton atau penikmat cerita.

Soal ini, dari sini dan seterusnya mungkin akan lebih banyak membahas tentang anime-anime sekarang. Sebelumnya, anime yang aku rekomendasi bisa dihitung jari. Kilas balik sedikit, Death Note, tak hanya aku, media Jepang, terutama, juga menuliskan bahwa anime atau cerita ini adalah cerita terbaik hingga saat ini. Sementara untuk anime sekarang, anime yang ingin aku rekomendasikan ke orang-orang selalu aku review di blog. Ya, diantaranya ada Zankyou no Terror, Hai to Gensou no Grimgar, Boku Dake ga Inai Machi, dan yang tak aku review tapi aku rekomendasikan, Ace of Diamond atau Daiya no Ace. Serta, ada satu anime di tahun ini, anime summer, yang muncul dan membuatku ingin mereviewnya ditengah-tengah suasana hatiku yang merasa bosan dengan anime-anime sekarang, Fukigen na Mononokean. Tunggu saja reviewnya, ya.

Jadi, seperti itulah. Anime yang membuatku tak menyesal menontonnya. Sementara anime yang lain? Apa yang membuatku jenuh? Bukan jenuh, hanya merasa gemas mungkin. Lebih tepatnya, aku tak mendapatkan hal yang bisa aku ambil dari anime atau cerita itu. “Amanat di setiap karya itu banyak. Tapi yang tertanam di hati penikmatnya tak selalu ada dan tak sama karena penikmat yang kisah hidup dan latar belakangnya berbeda-beda”, selalu itu yang ingin kuingat. Berbeda cara menikmati Naruto dan kawan-kawannya, kini cara pandangku terhadap dunia berubah sesuai umur. Anak-anak ingin tontonan yang seru dan berwarna, orang dewasa ingin tontonannya yang bisa menyadarkannya tentang arti hidup. Kira-kira seperti itulah aku berpikir.



Anime sekarang tak hanya diadaptasi dari anime atau game, tapi juga novel, dan project. Project ini juga salah satu yang melahirkan anime idol, katakanlah. Terutama anime-anime idol ini, yang mungkin membuatku melihat bahwa anime-anime ini menjual karakter dan lagu. Atau mungkin dari menjual karakter mereka jadi bisa menjual lagu. Intinya, bukan karena cerita. Meskipun mungkin, anime, yakni menyampaikan cerita melalui gambar dua dimensi atau tiga dimensi-lah yang menjadi nilai jualnya. Namun sama halnya dengan musik, lukisan, dan tarian. Setiap karya pasti mengandung makna. Dan ketika penggemar menyukai karya bernama anime tersebut hanya karena karakter, dari situlah banyak pertanyaan muncul di benakku.




Kedua. Aku mulai menilik anime lagi ketika sudah masuk perguruan tinggi, setelah lama tak ada tayangan kartun di televisi. Dengan situs khusus tentang anime, aku melihat lebih banyak dibandingkan hanya dengan melihat di televisi. Di sana ada komentar penikmat anime yang lain, ada ulasan, dan informasi tentang anime. Dan aku juga mendapatkan informasi lain yang berkaitan dengan karya tersebut, seperti goods atau merchandise, drama panggung, event, live action, kolaborasi dan lain sebagainya.


Untuk goods atau merchandise, hal seperti itu sudah lama memang sepertinya. Mungkin juga bisnis anime menjanjikan karena itu salah satunya. Penggemar pasti tergiur dengan kata ‘Limited Edition’ dan jurus pemasaran lainnya. Aku tak bilang salah. Uang, uang mereka, bagus kalau memang itu benar-benar uang hasil kerja keras mereka sendiri. Terserah mereka menggunakannya untuk apa, aku tak punya hak untuk melarang.


Dubber atau seiyuu dalam bahasa Jepang, menjadi topik yang sudah banyak diperbincangkan sekarang ini, tidak seperti dulu. Pengisi suara karakter-karakter dalam anime One Piece atau Naruto, yang notabene sudah berumur pun mungkin saja baru-baru ini merasakan yang namanya event meskipun kecil. Bertemu penggemar One Piece dan merasakan menjadi pemain di balik layar tetapi muncul di depan publik. Bahkan event anime Naruto tak ada rasanya. Entahlah. Tapi anime sekarang, hampir semua mengadakan event. Menjual tiketnya. Menampilkan para pengisi suara, berbincang tentang karya tersebut, bermain game atau semacamnya. Lalu setelah beberapa pekan mengeluarkan DVD dari event tersebut untuk kemudian dijual. Dari situ pulalah, beberapa dubber muda saat ini namanya naik daun.


Drama panggung. Karya itu bermacam-macam termasuk teatrikal. Tak salah, apalagi dengan pemikiran, “mengusung cerita dari sebuah karya yang sedang booming di masyarakat saat ini, mampu menaikkan pamor sebuah karya seni bernama teater atau drama panggung”. Akhirnya banyak pihak yang mencoba menampilkan cerita dari anime yang sedang terkenal keatas panggung teater. Tak buruk. Bahkan tiga diantara yang pernah aku lihat, aku akui mempunyai nilai tersendiri dimataku.


Tak seperti teater yang sepertinya baru-baru ini mengangkat cerita dari anime atau manga (komik Jepang), live action juga drama yang diangkat dari cerita anime sudah banyak yang memproduksi. Ada film ada juga drama. Ada yang mendapat respon baik, ada juga yang tidak.

Drama panggung dan live action yang didasarkan pada cerita manga adalah dua karya yang pembuatannya di bawah tekanan. Tekanan akan ekspetasi penggemar karya aslinya. Apakah para pemain dapat memainkan karakter dengan baik, baik secara fisik maupun kepribadian? Apakah dua karya ini mampu menyampaikan cerita dengan tensi yang sama seperti yang penggemar rasakan ketika menikmati karya aslinya?



Ada satu hal baru-baru ini yang ingin aku bahas sedikit. Mengungkapkan isi hati. Maaf, membuat semakin malas membaca.

Death Note, yang tadi aku sebut merupakan salah satu karya dengan cerita terbaik sampai saat ini, ceritanya telah dibawakan dengan live action, sebagai drama maupun film, juga dengan teater, lebih tepatnya drama musical. Awalnya, ketika melihat berita tentang serial dramanya aku penasaran, “Hebat juga mereka dapat mengangkat ceritanya sampai sekarang. Padahal Death Note adalah karya yang cerita komiknya telah tamat di majalah komik tahun 2006 dengan rapi”. Namun, melihat serial dramanya, menurutku tak buruk. Tapi tak bisa juga aku katakan bagus walau dengan cara mengakhiri kasusnya yang berbeda. Kemudian, di film yang saat ini sedang banyak diperbincangkan dan dinantikan peluncurannya, beberapa berita yang mengatakan bahwa L dan Light Yagami generasi pertama muncul kembali membuatku untuk kesekian kali mengerutkan kening. “Kenapa?” Film kali ini berlatarkan setelah peristiwa di cerita aslinya selesai. Dan dua tokoh yang sudah tewas bangkit kembali. Aku tahu ini anime, apapun itu bisa saja terjadi termasuk hal tak masuk akal seperti itu. Tapi aku tak bisa berbohong bahwa sangkaan terkadang muncul dibenakku. “Apakah mereka ingin menaikkan rate film ini dengan L dan Light yang kita tahu adalah dua tokoh yang paling digemari dari karya ini? Apakah tidak bisa dengan tokoh lain? Tokoh yang meskipun itu bukan L dan Light, tapi bisa membawa suasana pertarungan seru seperti L dan Light dulu. Kecerdasan pemecahan kasus, daya analisis, hal-hal yang membuat pertarungan mereka menjadi seru seperti itu bukankah ciptaan sang pengarang? Bukan L dan Light yang memiliki kepintaran itu, tapi sang pengarang, komikus, sang pembuat cerita yang membuatnya. Siapa yang akan melakukan strategi A, strategi B, pengarang yang menentukan. Pun pengarang memutuskan strategi itu akan dijalankan oleh karakter baru, selama strategi itu cerdik, dan mampu membawa suasana pertarungan menjadi panas tak masalah menurutku. Bahkan mungkin si karakter baru ini akan disukai banyak orang dan masuk di jajaran karakter favorite dari cerita Death Note bersama L dan Light. Tapi ya sudahlah, kita lihat bagaimana filmnya nanti karena ceritanya yang memang berbeda, jadi kita tidak bisa memprediksinya.



Selain live action, merchandise dan sebagainya, ada juga novel. Beberapa anime yang aku tahu misalnya, Naruto dan Death Note, mengeluarkan karya yang lain yakni novel. Dengan cerita berbeda, ada juga yang ceritanya sama hanya saja menceritakan dari sudut pandang yang berbeda. Mau dibawakan dengan cara apapun itu, meskipun ceritanya sama, namun teater adalah karya yang berbeda, bermain peran dalam film adalah karya yang berbeda, novel lagi-lagi karya yang berbeda dengan yang lain. Semoga kita tak lupa bahwa masing-masing karya tersebut mempunyai cirinya masing-masing dalam membawakan cerita yang sama. “Bagaimana dengan karya ini? Bagaimana cara karya ini membawakan cerita yang sama?”, itulah yang menjadi tantangan pekerja di masing-masing karya.




Pergantian musim di Jepang terjadi sekitar tiga bulan sekali. Dan setiap pergantian musim pasti banyak anime baru yang muncul.

Jika boleh aku katakan, aku jenuh dan bosan karena bisnis mulai terlihat ke permukaan. Sangat terasa malah. Dulu memang bukan berarti tak ada bisnis di industri anime itu, tapi sekarang “haus keuntungan”nya sangat terlihat. Semoga saja semangat menghasilkan karya yang berkualitas, cerita yang berbobot tak benar-benar hilang hanya karena mengikuti keinginan masyarakat.

Sama seperti di Indonesia, ups. Semoga saja, berita yang diangkat, dibahas media bukan berita yang diinginkan masyarakat saja, apalagi kita tahu masyarakat kita tak sedikit yang lebih menyukai berita soal orang lain yang tak ada hubungannya dengan negara, serta mudah terbawa isu juga menjadi saah satu ciri masyarakat kita. Aku berharap media di sini menjadi media yang mendidik, netral, dan benar-benar memberikan informasi yang contohnya saja bisa membuka wawasan dan pikiran masyarakat kita terhadap dunia, tentu saja fakta. Mungkin ‘NETRAL’ adalah kata yang sensitif untuk media kita saat ini.



Jadi, kembali ke penutupan. Semua yang aku tulis di blogku bukanlah sesuatu yang dapat dijadikan dasar apalagi teori. Ini hanya pendapatku yang masih belajar. Pendapat dari apa yang aku rasakan secara pribadi. Selain itu, di tambah dengan entri ini, semua reviewku mengenai anime atau sebuah karya aku rasa hanya melihat dari aspek ceritanya, karena aku tak mengerti bagaimana kriteria membuat manga, bagaimana bermain peran, berakting yang baik. Jadi, aku harap setelah membaca review ini, kalian juga akan membaca ulasan-ulasan tentang anime dari orang lain juga, agar kalian bisa memilah dan tak menelan apa yang masuk ke otak kalian mentah-mentah.



Mungkin satu kata lagi, “Aku rindu cerita orisinil,” meskipun aku sendiri tak jago membuatnya. Aku rindu ditampar. Tamparan yang menyadarkanku akan nilai hidup sekecil apapun itu.



Selamat berkarya!




Jayalah Indonesiaku!


Salam. :)b

Tidak ada komentar:

Posting Komentar