Blogger Widgets

Selasa, 11 Oktober 2016

3 BANGSA*

Aku tak tahu bagaimana harus mengungkapkannya, tapi “tidak ada maksud menghina suatu bangsa. Aku mencoba sebisa mungkin membahas ini dengan pikiran terbuka”. Kuawali dengan doa. Selamat membaca.



“Andai orang-orang negaraku, bangsaku seperti orang Amerika, pasti Indonesia bisa menjadi bangsa yang besar. Andai warga negaraku seperti orang-orang Jepang, pasti Indonesia maju. Kalau aku lahir di luar negeri, jadi warga di negara maju pasti enak”

Aku rasa tak sedikit orang yang berpikir seperti itu. Aku sendiri, karena Jepang adalah negara pertama yang aku ketahui sampai budaya atau cara hidup orang-orangnya, ketika SMA aku sering berpikir “andai aku warga negara Jepang”. Meskipun sebenarnya saat itu aku ingin menjadi warga negara Jepang karena kagum dengan komik. Bagaimana orang-orang itu bisa membuat cerita sekreatif itu? Ide cerita yang tak pernah terpikir olehku. Namun bersyukur karena teringat ketika itu aku juga berpikir bagaimana jika seseorang bertanya padaku “jika kau diberi kebebasan memilih, kau ingin jadi warga negara apa?”. “Warga negara Jepang”, kau berpikir aku akan menjawab seperti itu? Tapi sudah kuduga “Warga negara Indonesia saja, sudah cukup untukku” jawaban itu yang ingin aku keluarkan. Saat ini aku memang bersyukur menjadi warga negara Indonesia, tapi saat itu aku belum terlalu paham bagian mana yang harus aku syukuri dari terlahir sebagai orang Indonesia, jadi aku bersyukur karena entah kenapa dan entah datang dari mana, aku memiliki cinta untuk tanah airku. Dan sekarang? Aku mengerti mengapa aku bersyukur dan bangga menjadi warga negara Indonesia. Karena aku cinta Indonesia. Munafik? Kalian boleh berkata seperti itu, karena jika Dr. Zakir Naik bilang “Jika kau ingin mempelajari suatu agama, lihat agamanya, jangan lihat pengikutnya”, maka aku tak bisa bilang aku mencintai ‘warga negara’ Indonesia, untuk beberapa alasan. Aku cinta alam Indonesia yang indah. Aku cinta Indonesia yang kaya akan SDAnya. Aku cinta Nusantara. Dan, aku bersyukur aku terlahir di sebuah bangsa yang menantang. Aku bersyukur mendapat pelajaran berharga lebih dulu dibanding dengan teman-teman yang terlahir di negara yang semua serba ada, serba enak, serba aman dan nyaman. Kami memiliki kekuatan lebih ketika kami mampu menghadapi tantangan yang bangsa kami berikan ini. Jadi, bagaimana denganmu? Apa yang kau cintai dari Indonesia?





Indonesia. Sebenarnya aku tak tahu pasti, maaf, karena aku penulis yang kurang giat membaca buku, sepengetahuanku sampai saat ini, sejak zaman kerajaan, Hindu-Budha, lalu Islam, Nusantara diberi pengetahuan tentang religi, spiritual, terlebih dahulu saat bangsa lain telah terbiasa dengan ilmu pengetahuan alam dan kawan-kawannya. Itu terus berlanjut sampai zaman penjajahan, reformasi, hingga sekarang, Nusantara lebih menonjol dengan ciri khas ilmu religinya.

Agama, religi. Dalam hal ini ialah ajaran yang datang dari Sang Maha Pencipta, Tuhan Yang Satu, agama apapun itu. AjaranNya tidak hanya soal hal-hal gaib. Surga, neraka, ibadah, doa, tetapi juga tentang ilmu pengetahuan. Disampaikan oleh Dr. Zakir Naik, dalam agamaku 80% isi kitab kami logis, ilmiah, 20% belum terbukti tapi beliau berkata ketika kita tahu nanti, itu pasti logis. Jadi, itu kira-kira isi dari ilmu religi itu sendiri. Namun di Nusantara pada zaman Islam, yang lebih aku tahu, bukan sisi ilmiah atau logisnya yang disampaikan pada masyarakat kami kala itu. Para penyampai ajaran Islam bukan menyampaikan suatu kejadian nyata yang ada pada zaman ini, yang ternyata Islam sudah mengajarkannya, Nabi kami sudah mengetahuinya 1400 tahun lalu dimana belum ada mikroskop, sebagai contoh ilmu tentang bagaimana janin terbentuk. Bukan soal itu yang disampaikan. Bukan ingin membuktikan bahwa ajaran yang mereka bawa benar. Tapi, penyampai agama ini menjelaskan tentang ajaran agama yang mereka bawa itu. Apa itu? Ajaran seperti apa itu? Apa yang diajarkan? Dan sekarang pun, di zaman yang ketika aku berumur kurang dari lima tahun pun sudah mendapatkan ilmu mengenai agama, mereka juga tidak menyampaikan hal yang ilmiah yang ada dalam ajaran agama mereka. Ya, lagi pula anak umur lima tahun juga tidak akan mengerti, kecuali soal pelangi, gunung, lautan dan semacamnya. Mereka menyampaikan bahwa dalam agama yang mereka bawa tak ada kasta, semua manusia derajatnya sama di hadapan Tuhan. Agama itu mengajarkan kita untuk saling berbagi, saling tolong menolong, selalu tersenyum dan bersikap ramah, serta tak pernah marah. Menghargai perbedaan, hidup rukun, tenggang rasa, menyayangi sesama dan makhluk ciptaan Tuhan yang lainnya. Dan ajaran itu yang akhirnya menjadi dasar dari sikap ataupun watak sebagian besar warga negara Indonesia yang memang mayoritas Islam. Agama lain yang ada di sini pun demikian aku rasa.

Ramah dan suka tersenyum. Sampai saat ini menjadi jawaban yang sering aku dengar ketika seorang asing ditanya “Bagaimana orang Indonesia menurutmu?” Kami tak marah meskipun dikerjai. Kami suka tersenyum dan tertawa, meskipun komedi zaman sekarang banyak yang keluar jalur. Kami suka tolong menolong. Rasa kemanusiaan yang tinggi, mungkin. Kami senang memberi. Bahkan terkadang dikatakan ‘terlalu baik’. Seperti ketika aku masih duduk di bangku sekolah dasar, ibuku sedikit menegurku karena aku terlalu sering mengatakan ‘iya’ ketika teman meminta pertolongan sampai-sampai aku yang susah sendiri padahal sebenarnya itu bukan urusanku. Selain itu, orang Indonesia juga selalu menghargai perbedaan. Kami hidup rukun dan menyukai kesederhanaan. Lebih senang menghabiskan waktu di desa dengan tetangga sambil makan besar bersama di atas daun pisang. Kalau sedang mengobrol dengan sobat karib, terkadang bicaranya ‘tak pakai mikir’, yang justru membuat suasana menjadi hangat. Walau banyak yang akhirnya berujung pertikaian. Dan macam-macam orang yang wataknya tak seperti yang aku tulis tadi. Soal mereka kita abaikan saja dulu. Kita bahas yang dominan. Ya, itulah yang muncul di benak ketika kata ‘Nusantara’ disebut. Tak hanya Indonesia, Malaysia dan negara-negara tetangga mungkin juga seperti itu, karena aku tak pernah mengunjungi mereka. Orang Asia Tenggara, katanya.


Itu Indonesia. Bagaimana dengan bangsa lain? Jepang misalnya. Apa yang kalian pikirkan ketika mendengar kata ‘orang Jepang’?

Disiplin, selalu on time, menjaga peraturan, bersih. Tidak salah. Melihat bagaimana proses pendidikan di tingkat sekolah dasar berlangsung, memang itulah yang menjadikan karakter orang Jepang tumbuh seperti sekarang. Mereka selalu menjaga kebersihan bahkan di masa sekarang, yang tempat sampah di tempat umumnya dikurangi karena waspada dengan ancaman terror bom yang seringkali meletakkan bom di tempat sampah, mereka tak lantas membuang sampah sembarangan. Mereka akan menyimpannya di kantong kertas yang selalu mereka bawa atau di tas untuk selanjutnya dibuang setelah mereka sampai di rumah nanti. Mereka selalu tepat waktu, datang maksimal 15 menit sebelum waktunya. Selalu mematuhi peraturan, menepati janji, dan memiliki etos kerja yang luar biasa. Pendidikan usia dini di Jepang berhasil menjadikan warga negaranya tumbuh menjadi warga negara yang mudah diatur sehingga semua elemen masyarakat mampu mengantarkan Jepang menjadi bangsa besar seperti sekarang.


Bangsa ketiga adalah Amerika dan orang-orang Eropa, atau kita sebut saja bangsa barat. Beberapa kali pernah aku singgung tentang cara hidup bangsa barat di beberapa entriku sebelumnya. “Kopi Sumatera di Amerika” contohnya. Aku rasa kita semua tahu bahwa bangsa barat tumbuh menjadi manusia yang kritis dan berpikir. Mereka tak hanya hidup sekedar hidup mengikuti air yang mengalir. Sekalipun mereka punya agama yang biasa kita sebut pedoman hidup, mereka tak enggan untuk selalu mempelajari dan mencari kebenaran dari agama yang mereka anut itu. Maaf, sebenarnya aku tak terlalu tahu soal bangsa barat dari sisi religinya, namun dari sebuah video yang aku lihat di youtube, aku mempelajari mereka tak terlalu membaca kitab mereka. Orang video itu bilang, jemaat juga diberi tahu untuk tak banyak bertanya. Lebih tepatnya mungkin kalian bisa cek di youtube. Tapi terlepas dari itu, pendidikan usia dini di barat memang bagus. Ketika kita sering mendengar orang tua yang selalu menasihati anaknya, selalu memaksa anaknya untuk mendengarkan perkataan mereka walau sebenarnya itu untuk kebaikan sang anak, sementara mereka sendiri tak pernah mendengarkan curahan hati anaknya, orang dewasa di negara barat selalu membuka lebar telinga mereka untuk mendengarkan cerita anak kecil. Mereka selalu bertanya pada anak-anak, anak siapapun itu. Mereka tak memarahi anak mereka, karena anak mereka dengan kesal protes kalau ‘sang ayah selalu bekerja, tidak pernah ada waktu untuk bermain bersama putri kecilnya’, dengan berkata “ayah bekerja untukmu! Kau anak kecil tak akan mengerti!” Sekalipun mereka marah, mereka akan minta maaf kemudian. Orang dewasa disana selalu mendengarkan apa pendapat anak-anak. Mereka selalu menanyakan pendapat anak-anak meskipun itu mengenai urusan orang dewasa. Ya, setidaknya mereka menjawab ketika sang anak bertanya ‘ada apa?’ Mereka menghargai anak-anak. Mereka memperlakukan anak-anak bak raja. Mereka menempatkan anak-anak setara dengan orang dewasa jika sudah berbicara mengenai pendapat, baik dalam hal bertanya ataupun menyampaikan. Itulah yang aku pikir menjadi sebab mengapa anak-anak bangsa barat tumbuh menjadi orang yang kritis dan berpikir. Mereka benar-benar berpikir akan nilai, kualitas dan kebermanfaatan hidup mereka. Mereka selalu mencari kebenaran yang masuk akal. Mereka berpikir bagaimana seharusnya mereka hidup. Tujuan hidup, itu salah satu yang mereka cari dari pedoman hidup yang selama ini mereka pegang sekarang.


3 poin yang, Alhamdulillah, baik dari 3 bangsa. Indonesia dengan religinya, Jepang dengan attitude, karakternya, dan Amerika, bangsa barat, dengan akalnya. Bagaimana jika ketiga sisi itu ditukar?

Ya, maksudku seperti, pertama, bangsa Indonesia. Kita semua tahu kita rajanya ‘jam karet’. Soal attitude seperti bangsa Jepang, untuk mayoritas, bisa kukatakan nol besar. Apa lagi semenjak aku mulai menjalani kehidupanku di kota besar seperti ini. Individualisme, sampah di mana-mana, tak ada toleransi terhadap orang lain. Sementara untuk budaya pemikir, aku tak terlalu mengerti, tapi yang pasti tak sedikit orang kita yang kritis, bukan? Kalau tak ada yang kritis semua hanya akan jadi mainan pemilik kekuasaan yang dibutakan nafsu. Namun banyak juga orang yang hidup sekedar hidup. Sama sekali tak mengerti apa makna dan kebermanfaatan hidup mereka selama ini sampai mereka akhirnya menyapa liang kubur.


Kedua, Jepang. Mereka memiliki ilmu religi, tapi sejauh yang aku amati sampai sekarang, mereka seperti hanya mendapat pelajar bahwa ada Sang Pencipta dan ada makhluk gaib seperti roh atau arwah dan hantu. Namun dengan berjalannya waktu, karakter mereka yang disiplin, on time, serba terjadwal dan semacamnya itu sedikit banyak mulai mendominasi sampai ke hati mereka, jika aku lihat. Karena dalam pemberitaan di sini pun, sekarang Shinto, agama asli Jepang, sudah tak dianggap sebagai agama, namun gaya, pandangan atau cara hidup. Dari sebelum-sebelumnya juga sudah terlihat sebenarnya. Orang Jepang sudah lebih banyak yang Atheis. Mereka lahir beragama Shinto, hidup sebagai orang Kristen dan mati dengan cara Budha. Mereka pergi ke kuil namun mereka juga merayakan hari raya Natal. Ketika ditanya apakah mereka butuh agama, hampir setengah dari orang Jepang yang temanku wawancarai menjawab tak terlalu butuh. Mungkin sebenarnya mereka yang percaya ada Tuhan. Percaya bahwa terkadang suatu hal aneh datang karena ada roh-roh nenek moyang yang minta didoakan sehingga sampai saat ini pun orang-orang di kota kecil dan di desa masih mengadakan festival atau semacam ritual untuk mendoakan arwah leluhur. Namun, agama sebagai pedoman hidup, menganggapnya sebagai kebutuhan, kebutuhan yang sampai seperti yang bangsa kita lakukan yaitu sesuatu yang mempengaruhi sebagian besar cara hidup kita, aku tak merasa bisa mengatakannya sampai situ. Cara hidup yang mereka anut, ialah cara hidup yang alasannya masuk di akal. Mereka tahu, paham, mengapa mereka harus disiplin. Mereka menjalani hidup dengan cara hidup yang ada kaitannya dengan hubungan antar manusia. Selama mereka aman, nyaman, mereka tak butuh agama. Maaf jika seperti judgement, itu hanya pendapatku, opini dari apa yang selama ini aku lihat.

Sekarang, apa bedanya hidup logis mereka, ‘pemikir’ bangsa Jepang dengan barat?

Mengenai hal ini, jujur, aku rehat menulis, 2, 3 hari aku butuhkan untuk berpikir lagi. Bukan berpikir mencari perbedaannya. Tapi justru selama 2, 3 hari itu aku semakin tak mengerti apa yang harus aku tulis. Aku semakin tak mengerti dimana titik perbedaannya. Apakah benar berbeda? Jika sama kenapa mereka tumbuh menjadi dua bangsa yang berbeda di mataku? Dan ketika aku mulai menulis lagi karena aku rasa aku telah menemukan jawabannya, aku bingung bagaimana harus mengungkapkannya dengan benar. Ya, memang. Terkadang banyak sekali alasan mengapa kita tak mengungkapkan isi hati dan pikiran kita. Ketika di dalam sebuah rapat kita terpikirkan suatu ide atau pertanyaan, ujung-ujungnya kita tak jadi mengutarakannya karena berbagai alasan. “Apa jika aku bertanya aku tak akan ditertawakan karena pertanyaanku bodoh?”, “Apa pendapatku ini benar? Atau justru aku malah akan diserang balik karena tak tahu duduk perkaranya?” Suara-suara hebat, yang mungkin saja suatu hari nanti mampu mengubah dunia, terkadang terpendam, hilang tak berbekas, tak pernah keluar satu kalipun dari mulut sang empunya hingga sang empunya meninggal. Dan itu bukan hanya karena faktor dalam dirinya, tetapi juga ada faktor lingkungan yang tanpa disadari hanya berkata, jika tidak “benar”, ya “salah”. Tanpa pernah sekalipun ia berusaha mengerti tentang proses belajar sang pengutara pendapat ini, lingkungan langsung men-judge suara itu.

Maaf, jika tulisanku membuat kalian pusing tak mengerti dengan arah pembahasan karena tiba-tiba membahas itu. Karena, bohong, jika aku bilang aku menulis ini bukan karena ingin dimengerti, bukan karena ingin agar kalian tak langsung mencap sesuatu padaku ketika aku mengungkapkan pendapatku setelah ini meskipun aku berusaha membuatnya ‘halus’. Bukan sesuatu yang berarti, hanya saja aku sedikit merasa berat hati untuk menulis sesuatu tentang satu bangsa dari sudut pandang orang awam sepertiku yang notabene tak tahu benar mengenai mereka. Oleh karena itu, senang rasanya kalau kalian bersedia mengoreksi dasar dari opini seorang pembelajar sepertiku ini.


Kembali ke topik, beberapa orang yang aku lihat, aku temui, dan aku dengar pendapatnya, membuatku merasa bangsa Jepang masih terpengaruh dengan masa lalu mereka yakni sebelum restorasi Meiji. Jepang menutup diri terhadap bangsa barat. Pada dasarnya mereka sama dengan bangsa kita. Diawal, mereka sama-sama membiarkan cinta tumbuh dalam hati sama seperti kita. Cinta terhadap tanah air dan cinta dengan pandangan hidup, ajaran, agama yang berkembang di tanah air, yang didapat dari nenek moyang. Namun setelahnya apa yang terjadi di Jepang dan di Indonesia sangatlah berbeda. Sistem pendidikan dasar yang diberlakukan di Jepang mampu menjadikan negara itu maju dengan salah satunya teknologi canggih yang kini mempengaruhi banyak bangsa terutama negara berkembang. Guruku di Negri Sakura sana sangat membanggakan ilmu pengetahuan yang dimiliki bangsanya sekarang. Robot berbentuk manusia yang mungkin akan benar-benar digunakan suatu hari nanti di seluruh dunia. Bakteri dalam daging babi yang telah hilang dengan teknologi mereka sehingga daging babi bisa dikonsumsi dengan aman, kata guruku itu. Selain itu, Jepang adalah negara yang bersih dan peringkat 8 dari 10 negara paling aman di dunia. Siapa juga yang tak betah tinggal disana? Salah satu personality radio yang aku dengar setiap hari Jumat pun bilang bahwa ia tak ingin pergi ke luar negeri. Amerika misalnya, tak seperti Jepang dimana kepemilikan senjata api harus dengan ijin, kita tak tahu siapa saja yang memiliki senjata api di Amerika sana. “Rasanya seperti aku bisa saja terbunuh kapan saja”, katanya. Dia tak ingin keluar negeri karena selain di negaranya sendiri pun masih banyak tempat yang belum dikunjungi, baginya Jepang adalah negara paling aman, damai.

Tertutup. Tak terbuka. Hal itulah yang diwariskan sejarah hingga, aku rasa, sampai saat ini kepada orang Jepang. Aku tahu tak semua orang. Orang Indonesia yang selalu ramah juga tak semua. Hanya menyayangkannya. Karena, dengan “mengurung diri dirumah” itulah, mereka tak memperoleh ilmu pengetahuan yang tak ada dirumah mereka. Salah satunya ilmu religi, ajaran, pandangan, filsafat hidup. Ada banyak agama, pandangan dan ajaran hidup di dunia ini. Ada banyak tokoh pemikir filsafat hidup di dunia ini. Orang Jepang tak tahu bagaimana kita, orang Indonesia, memuliakan sebuah pernikahan, sementara banyak dari mereka tak menikah karena berbagai alasan. Karier, memang tak ingin menikah karena merepotkan, dan lain-lain. Toh, kebutuhan seperti cinta dan seks bisa mereka dapatkan tanpa harus menikah dan memiliki anak. Hingga akhirnya membuat piramida kependudukan mereka terbalik.

Anime. Salah satu hal dari Jepang yang memang aku lebih banyak mendengar tentang itu dibandingkan hal lain. Pemilik rumah produksi menantikan ketika sebuah anime yang mereka rilis diminati banyak orang di Jepang sana. Penggemar itulah yang menjadi pasar mereka ketika baru 4, 5 minggu sebuah anime rilis mereka sudah mengeluarkan banyak merchandise untuk dijual secara terbatas. Semakin berkembang bisnis itu sekarang, hingga ada saja barang-barang aneh yang bangsa itu ciptakan, namun semata untuk memuaskan kecintaan mereka terhadap karya itu, dan bagi pengembang, ya, seperti yang kalian tahu, disamping karakter mereka yang memang hanya akan membeli barang original buatan dalam negeri sebagai ungkapan bahwa mereka menghargai si pembuat cerita karya aslinya.
Kecintaan itu, yang menurutku, meskipun bangsa Jepang juga memiliki ‘unsur’ pemikir seperti bangsa barat, selama mereka bisa hidup nyaman, aman, karena memang seperti itulah negri mereka sekarang, mereka tak perlu mencari lagi yang lain. Mereka sekarang hanya ‘tinggal’ fokus pada karier, kehidupan ‘dunia’ mereka. Perihal mereka juga tahu ada surga dan neraka, dimana tempat mereka akan pergi setelah mati, dan ‘mungkin’ mereka yakin akan tinggal di surga, serta atas dasar apa, jaminan apa yang mereka punya sehingga bisa dengan santai hidup di dunia tanpa terpikir ‘mungkin nerakalah yang akan jadi tujuan akhir hidup mereka’, aku tak tahu. Mungkin suatu saat kita bisa tanyakan pada mereka.

Kecintaan yang dimiliki bangsa kita juga sebenarnya sama. Atau justru lebih parah. Karena kami hanya menuliskan itu sebagai agama kami di KTP tanpa benar-benar memikirkan ajaran itu, mengaplikasian apa yang ajaran itu ajarankan pada kami di kehidupan kami. Sehingga, ya, seperti ini sajalah terus, Indonesia. Tapi, semoga kita selalu dalam lindunganNya.

Jadi begitulah. Setinggi apapun puncak yang telah kita daki, semaju apapun bangsa kita, diluar sana bangsa lain, telah menjalani hidup dengan, mungkin, pandangan hidup yang lebih ideal, lebih logis, lebih manusiawi dari yang kita anut. Dari pandangan hidup yang kita tahu selama ini. Dari pandangan hidup yang selama ini kita genggam hanya karena itu warisan orang tua, bawaan nenek moyang. Jadi, jangan menyerah mencari kebenaran.


Itu tadi, Indonesia dan Jepang. Sekarang giliran bangsa barat. Bagaimana pendapat kalian mengenai bangsa barat dilihat dari sisi lain selain ‘pemikir’?

Aku melihatnya sebagai bangsa yang memiliki beberapa budaya yang sama seperti Jepang. Minum-minuman keras, seks bebas, dan beberapa pekan lalu media memberitakan demonstrasi yang dilakukan di New York, kalau aku tak salah ingat, oleh sekelompok wanita dimana mereka menuntut agar kaum wanita diberi hak atau kebebasan untuk bertelanjang dada seperti kaum pria, karena mereka menganggap itu juga salah satu bukti kesetaraan gender. Sebenarnya jika ditarik kesimpulan tak ada yang perlu aku ‘komentari’ mengenai bangsa barat. Kenapa? Karena berbeda dengan Jepang, mereka adalah bangsa yang terbuka. Pemikiran mereka terbuka. Mereka mengetahui semua ilmu yang ada di dunia ini. Mereka mampu dengan mudah mendapatkan ilmu bahkan dari luar bumi sekalipun. Dan selama itu logis, masuk akal, sesuai dengan ilmu pengetahuan atau kebenaran yang selama ini telah diketahui, mereka bisa saja mengakui ilmu itu sehingga ‘kebenaran’ dengan mudah datang dan merangkul sebagian dari mereka. Hanya saja, tak sedikit juga orang barat yang tak mendapat kesempatan keluar rumah. Bukan tak ingin, tak ada kesempatan untuk melihat langsung apa yang ada di luar rumah mereka. Tak sedikit juga yang tak terpikir bahwa diluar sana ada hal ‘aneh’ yang patut untuk mereka coba ‘pikirkan’. Yang sedang mencari kebenaran, yang telah mendapat kebenarannya memang sedikit. Namun karena mereka memutuskan mengambil jalan yang memang benar, hidup mereka juga akan benar, di dunia ataupun nanti setelah mereka mati. Karena mereka paham mengapa mereka mengambil jalan itu, sangat mengerti mengapa jalan ini ‘benar’, mereka tak akan mudah terhanyut dengan yang lain. Mereka akan mencintai jalan itu. Cinta yang sesungguhnya. Cinta yang abadi, karena mereka tahu mengapa mereka bisa mencintai jalan itu. Dengan melangkah di jalan yang benar, menjalani hidup dengan cara yang benar, kebaikan dan kualitas hidup, hasil yang baik akan mengikuti. Sedikit demi sedikit, namun jika semua orang barat itu mampu mendapatkan kebaikan hidup, hasil yang baik itu, Amerika yang sekarang sudah menjadi negara adidaya akan menjadi sebesar apalagi di masa depan nanti?

Kalau Indonesia, maaf, aku sedikit bersyukur Indonesia adalah negara yang ‘terpuruk'. Bercanda. Tapi, sungguh, dengan kondisi kami sekarang, negara berkembang, kami mau tak mau pasti melihat ke atas. Kami menyadari benar kondisi kami, yang masih jauh dari kata ‘enak’. Kami tahu benar bahwa banyak negara yang lebih maju di luar sana. Dan yang terpenting, aku bersyukur karena ‘kesadaran’ akan kondisi itu diketahui, menyebar di hampir seluruh elemen masyarakat. Hanya saja, kami tahu kondisi kami, tapi tak ada usaha nyata dari masing-masing individu warga negara Indonesia untuk mengubahnya. Sedih. Orang Indonesia hanya menerima ilmu religi tanpa kemudian mempelajarinya dengan sungguh-sungguh. “Pasrah, sudah takdir. Rezeki setiap orang, takdir setiap bangsa sudah ada yang mengatur”. Lupa kalau ajaran yang kita anut juga mengajarkan kita untuk berusaha, bekerja keras. “Hidup diri sendiri saja belum bener, mau mikirin negara?” katanya. Setelah tahu ada anak tukang becak, petani, bisa lulus S1 cumlaude di universitas terkemuka di Indonesia dan melanjutkan studi S2 di luar negeri dengan beasiswa penuh, masih akan mengatakan hal seperti itu? Setiap individu memiliki potensinya masing-masing. Dibidang apapun itu, dan tak harus menjadi lulusan terbaik di perguruan tinggi ternama. Mungkin saja kau yang sedang duduk membaca entri ini adalah salah satu yang akan mengubah dunia. Kata temanku, mimpi jangan setengah-setengah. Daripada mengubah Indonesia mengapa tidak mengubah dunia saja sekalian. Dunia belum damai, bung. Masih banyak saudara kita yang kelaparan, kekurangan air, dan menjadi korban kejahatan kemanusiaan. Jadi, jangan diam! Bergerak! Bangun! Pergi sana, cari ilmu! Cari kebenaran dimulai dari apa yang sedang kau anut, kau tekuni terlebih dahulu. Gali passionmu! Tak usah berat dipikir. Sedikit demi sedikit. Yang penting dilalui dengan cara yang benar. Hasil akan mengikuti.

Dan sekali lagi semoga kita tak ‘hidup sekedar hidup’. Bekerja lalu menerima gaji. Hanya itu. Lakukanlah sesuatu. Buatlah sesuatu. Sesuatu yang ‘belum’ dilakukan orang lain. Bukan yang ‘tak’ dilakukan orang lain ya. Mencuri mangga tetangga juga tak dilakukan orang lain. Hal baik yang ‘belum’ dilakukan orang lain. Semua orang melakukan hal baik. Namun yang pertama yang melakukannya, dia lah yang dikenal, dikenang oleh orang-orang. Ketika dikantor kalian melakukan suatu hal baik, menjadi kebiasaan, orang-orang melihatnya dan kemudian mengikutinya, menjadi kebiasaan baik dikantor, memberikan dampak yang baik untuk perusahaan, semua orang akan mengenalmu termasuk atasan. Atau pikirkan dirimu sendiri saja. Kau dan aku ingin yang terbaik untuk hidup kita masing-masing, maka lakukanlah yang terbaik, capailah yang tertinggi meskipun itu dalam hal kecil sekalipun. Ketulusan hati menuju kebaikan dan kerja keras tak akan mengkhianati. Dimulai dari diri sendiri pun tanpa sadar itu adalah kebermanfaatan untuk lingkungan sekitar kita. Barulah kita memikirkan kebermanfaatan hidup kita untuk lingkup yang lebih luas.





Setiap orang memiliki kelebihan dan kekurangan. Setiap bangsa memiliki karakteristiknya masing-masing. Kekuatan dan kelemahannya masing-masing. Sekarang, apa yang akan kau lakukan untuk menghilangkan kekurangan dan kelemahan negatif yang ada dalam dirimu?


Mari saling berbagi, saling mendoakan. Kau dan aku untuk hidup yang lebih bermanfaat.






Jayalah Indonesiaku!

Salam. :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar