Aku tak tahu bagaimana harus mengungkapkannya, tapi “tidak
ada maksud menghina suatu bangsa. Aku mencoba sebisa mungkin membahas ini
dengan pikiran terbuka”. Kuawali dengan doa. Selamat membaca.
“Andai orang-orang negaraku, bangsaku seperti orang Amerika,
pasti Indonesia bisa menjadi bangsa yang besar. Andai warga negaraku seperti
orang-orang Jepang, pasti Indonesia maju. Kalau aku lahir di luar negeri, jadi
warga di negara maju pasti enak”
Aku rasa tak sedikit orang yang berpikir seperti itu. Aku
sendiri, karena Jepang adalah negara pertama yang aku ketahui sampai budaya
atau cara hidup orang-orangnya, ketika SMA aku sering berpikir “andai aku warga
negara Jepang”. Meskipun sebenarnya saat itu aku ingin menjadi warga negara
Jepang karena kagum dengan komik. Bagaimana orang-orang itu bisa membuat cerita
sekreatif itu? Ide cerita yang tak pernah terpikir olehku. Namun bersyukur
karena teringat ketika itu aku juga berpikir bagaimana jika seseorang bertanya
padaku “jika kau diberi kebebasan memilih, kau ingin jadi warga negara apa?”.
“Warga negara Jepang”, kau berpikir aku akan menjawab seperti itu? Tapi sudah
kuduga “Warga negara Indonesia saja, sudah cukup untukku” jawaban itu yang
ingin aku keluarkan. Saat ini aku memang bersyukur menjadi warga negara
Indonesia, tapi saat itu aku belum terlalu paham bagian mana yang harus aku
syukuri dari terlahir sebagai orang Indonesia, jadi aku bersyukur karena entah
kenapa dan entah datang dari mana, aku memiliki cinta untuk tanah airku. Dan
sekarang? Aku mengerti mengapa aku bersyukur dan bangga menjadi warga negara
Indonesia. Karena aku cinta Indonesia. Munafik? Kalian boleh berkata seperti
itu, karena jika Dr. Zakir Naik bilang “Jika kau ingin mempelajari suatu agama,
lihat agamanya, jangan lihat pengikutnya”, maka aku tak bisa bilang aku
mencintai ‘warga negara’ Indonesia, untuk beberapa alasan. Aku cinta alam
Indonesia yang indah. Aku cinta Indonesia yang kaya akan SDAnya. Aku cinta Nusantara.
Dan, aku bersyukur aku terlahir di sebuah bangsa yang menantang. Aku bersyukur
mendapat pelajaran berharga lebih dulu dibanding dengan teman-teman yang
terlahir di negara yang semua serba ada, serba enak, serba aman dan nyaman.
Kami memiliki kekuatan lebih ketika kami mampu menghadapi tantangan yang bangsa
kami berikan ini. Jadi, bagaimana denganmu? Apa yang kau cintai dari Indonesia?
Indonesia. Sebenarnya aku tak tahu pasti, maaf, karena aku penulis yang
kurang giat membaca buku, sepengetahuanku sampai saat ini, sejak zaman
kerajaan, Hindu-Budha, lalu Islam, Nusantara diberi pengetahuan tentang religi,
spiritual, terlebih dahulu saat bangsa lain telah terbiasa dengan ilmu
pengetahuan alam dan kawan-kawannya. Itu terus berlanjut sampai zaman penjajahan,
reformasi, hingga sekarang, Nusantara lebih menonjol dengan ciri khas ilmu
religinya.
Agama, religi. Dalam hal ini ialah ajaran yang datang dari
Sang Maha Pencipta, Tuhan Yang Satu, agama apapun itu. AjaranNya tidak hanya
soal hal-hal gaib. Surga, neraka, ibadah, doa, tetapi juga tentang ilmu
pengetahuan. Disampaikan oleh Dr. Zakir Naik, dalam agamaku 80% isi kitab kami
logis, ilmiah, 20% belum terbukti tapi beliau berkata ketika kita tahu nanti,
itu pasti logis. Jadi, itu kira-kira isi dari ilmu religi itu sendiri. Namun di
Nusantara pada zaman Islam, yang lebih aku tahu, bukan sisi ilmiah atau
logisnya yang disampaikan pada masyarakat kami kala itu. Para penyampai ajaran
Islam bukan menyampaikan suatu kejadian nyata yang ada pada zaman ini, yang
ternyata Islam sudah mengajarkannya, Nabi kami sudah mengetahuinya 1400 tahun
lalu dimana belum ada mikroskop, sebagai contoh ilmu tentang bagaimana janin
terbentuk. Bukan soal itu yang disampaikan. Bukan ingin membuktikan bahwa
ajaran yang mereka bawa benar. Tapi, penyampai agama ini menjelaskan tentang ajaran
agama yang mereka bawa itu. Apa itu? Ajaran seperti apa itu? Apa yang
diajarkan? Dan sekarang pun, di zaman yang ketika aku berumur kurang dari lima
tahun pun sudah mendapatkan ilmu mengenai agama, mereka juga tidak menyampaikan
hal yang ilmiah yang ada dalam ajaran agama mereka. Ya, lagi pula anak umur
lima tahun juga tidak akan mengerti, kecuali soal pelangi, gunung, lautan dan
semacamnya. Mereka menyampaikan bahwa dalam agama yang mereka bawa tak ada
kasta, semua manusia derajatnya sama di hadapan Tuhan. Agama itu mengajarkan
kita untuk saling berbagi, saling tolong menolong, selalu tersenyum dan
bersikap ramah, serta tak pernah marah. Menghargai perbedaan, hidup rukun,
tenggang rasa, menyayangi sesama dan makhluk ciptaan Tuhan yang lainnya. Dan
ajaran itu yang akhirnya menjadi dasar dari sikap ataupun watak sebagian besar
warga negara Indonesia yang memang mayoritas Islam. Agama lain yang ada di sini
pun demikian aku rasa.
Ramah dan suka tersenyum. Sampai saat ini menjadi jawaban
yang sering aku dengar ketika seorang asing ditanya “Bagaimana orang Indonesia
menurutmu?” Kami tak marah meskipun dikerjai. Kami suka tersenyum dan tertawa,
meskipun komedi zaman sekarang banyak yang keluar jalur. Kami suka tolong
menolong. Rasa kemanusiaan yang tinggi, mungkin. Kami senang memberi. Bahkan
terkadang dikatakan ‘terlalu baik’. Seperti ketika aku masih duduk di bangku
sekolah dasar, ibuku sedikit menegurku karena aku terlalu sering mengatakan
‘iya’ ketika teman meminta pertolongan sampai-sampai aku yang susah sendiri
padahal sebenarnya itu bukan urusanku. Selain itu, orang Indonesia juga selalu
menghargai perbedaan. Kami hidup rukun dan menyukai kesederhanaan. Lebih senang
menghabiskan waktu di desa dengan tetangga sambil makan besar bersama di atas
daun pisang. Kalau sedang mengobrol dengan sobat karib, terkadang bicaranya
‘tak pakai mikir’, yang justru membuat suasana menjadi hangat. Walau banyak
yang akhirnya berujung pertikaian. Dan macam-macam orang yang wataknya tak
seperti yang aku tulis tadi. Soal mereka kita abaikan saja dulu. Kita bahas
yang dominan. Ya, itulah yang muncul di benak ketika kata ‘Nusantara’ disebut.
Tak hanya Indonesia, Malaysia dan negara-negara tetangga mungkin juga seperti
itu, karena aku tak pernah mengunjungi mereka. Orang Asia Tenggara, katanya.
Itu Indonesia. Bagaimana dengan bangsa lain? Jepang
misalnya. Apa yang kalian pikirkan ketika mendengar kata ‘orang Jepang’?
Disiplin, selalu on time,
menjaga peraturan, bersih. Tidak salah. Melihat bagaimana proses pendidikan di
tingkat sekolah dasar berlangsung, memang itulah yang menjadikan karakter orang
Jepang tumbuh seperti sekarang. Mereka selalu menjaga kebersihan bahkan di masa
sekarang, yang tempat sampah di tempat umumnya dikurangi karena waspada dengan
ancaman terror bom yang seringkali meletakkan bom di tempat sampah, mereka tak
lantas membuang sampah sembarangan. Mereka akan menyimpannya di kantong kertas
yang selalu mereka bawa atau di tas untuk selanjutnya dibuang setelah mereka
sampai di rumah nanti. Mereka selalu tepat waktu, datang maksimal 15 menit
sebelum waktunya. Selalu mematuhi peraturan, menepati janji, dan memiliki etos
kerja yang luar biasa. Pendidikan usia dini di Jepang berhasil menjadikan warga
negaranya tumbuh menjadi warga negara yang mudah diatur sehingga semua elemen
masyarakat mampu mengantarkan Jepang menjadi bangsa besar seperti sekarang.
Bangsa ketiga adalah Amerika dan orang-orang Eropa, atau
kita sebut saja bangsa barat. Beberapa kali pernah aku singgung tentang cara
hidup bangsa barat di beberapa entriku sebelumnya. “Kopi Sumatera di Amerika”
contohnya. Aku rasa kita semua tahu bahwa bangsa barat tumbuh menjadi manusia
yang kritis dan berpikir. Mereka tak hanya hidup sekedar hidup mengikuti air yang
mengalir. Sekalipun mereka punya agama yang biasa kita sebut pedoman hidup,
mereka tak enggan untuk selalu mempelajari dan mencari kebenaran dari agama
yang mereka anut itu. Maaf, sebenarnya aku tak terlalu tahu soal bangsa barat
dari sisi religinya, namun dari sebuah video yang aku lihat di youtube, aku
mempelajari mereka tak terlalu membaca kitab mereka. Orang video itu bilang,
jemaat juga diberi tahu untuk tak banyak bertanya. Lebih tepatnya mungkin
kalian bisa cek di youtube. Tapi terlepas dari itu, pendidikan usia dini di
barat memang bagus. Ketika kita sering mendengar orang tua yang selalu menasihati
anaknya, selalu memaksa anaknya untuk mendengarkan perkataan mereka walau
sebenarnya itu untuk kebaikan sang anak, sementara mereka sendiri tak pernah
mendengarkan curahan hati anaknya, orang dewasa di negara barat selalu membuka
lebar telinga mereka untuk mendengarkan cerita anak kecil. Mereka selalu
bertanya pada anak-anak, anak siapapun itu. Mereka tak memarahi anak mereka,
karena anak mereka dengan kesal protes kalau ‘sang ayah selalu bekerja, tidak
pernah ada waktu untuk bermain bersama putri kecilnya’, dengan berkata “ayah
bekerja untukmu! Kau anak kecil tak akan mengerti!” Sekalipun mereka marah,
mereka akan minta maaf kemudian. Orang dewasa disana selalu mendengarkan apa
pendapat anak-anak. Mereka selalu menanyakan pendapat anak-anak meskipun itu
mengenai urusan orang dewasa. Ya, setidaknya mereka menjawab ketika sang anak
bertanya ‘ada apa?’ Mereka menghargai anak-anak. Mereka memperlakukan anak-anak
bak raja. Mereka menempatkan anak-anak setara dengan orang dewasa jika sudah
berbicara mengenai pendapat, baik dalam hal bertanya ataupun menyampaikan. Itulah
yang aku pikir menjadi sebab mengapa anak-anak bangsa barat tumbuh menjadi
orang yang kritis dan berpikir. Mereka benar-benar berpikir akan nilai,
kualitas dan kebermanfaatan hidup mereka. Mereka selalu mencari kebenaran yang
masuk akal. Mereka berpikir bagaimana seharusnya mereka hidup. Tujuan hidup,
itu salah satu yang mereka cari dari pedoman hidup yang selama ini mereka
pegang sekarang.
3 poin yang, Alhamdulillah, baik dari 3 bangsa. Indonesia
dengan religinya, Jepang dengan attitude,
karakternya, dan Amerika, bangsa barat, dengan akalnya. Bagaimana jika ketiga
sisi itu ditukar?
Ya, maksudku seperti, pertama, bangsa Indonesia. Kita semua
tahu kita rajanya ‘jam karet’. Soal attitude
seperti bangsa Jepang, untuk mayoritas, bisa kukatakan nol besar. Apa lagi
semenjak aku mulai menjalani kehidupanku di kota besar seperti ini. Individualisme,
sampah di mana-mana, tak ada toleransi terhadap orang lain. Sementara untuk
budaya pemikir, aku tak terlalu mengerti, tapi yang pasti tak sedikit orang
kita yang kritis, bukan? Kalau tak ada yang kritis semua hanya akan jadi mainan
pemilik kekuasaan yang dibutakan nafsu. Namun banyak juga orang yang hidup
sekedar hidup. Sama sekali tak mengerti apa makna dan kebermanfaatan hidup
mereka selama ini sampai mereka akhirnya menyapa liang kubur.
Kedua, Jepang. Mereka memiliki ilmu religi, tapi sejauh yang
aku amati sampai sekarang, mereka seperti hanya mendapat pelajar bahwa ada Sang
Pencipta dan ada makhluk gaib seperti roh atau arwah dan hantu. Namun dengan
berjalannya waktu, karakter mereka yang disiplin, on time, serba terjadwal dan semacamnya itu sedikit banyak mulai
mendominasi sampai ke hati mereka, jika aku lihat. Karena dalam pemberitaan di
sini pun, sekarang Shinto, agama asli Jepang, sudah tak dianggap sebagai agama,
namun gaya, pandangan atau cara hidup. Dari sebelum-sebelumnya juga sudah
terlihat sebenarnya. Orang Jepang sudah lebih banyak yang Atheis. Mereka lahir
beragama Shinto, hidup sebagai orang Kristen dan mati dengan cara Budha. Mereka
pergi ke kuil namun mereka juga merayakan hari raya Natal. Ketika ditanya
apakah mereka butuh agama, hampir setengah dari orang Jepang yang temanku
wawancarai menjawab tak terlalu butuh. Mungkin sebenarnya mereka yang percaya
ada Tuhan. Percaya bahwa terkadang suatu hal aneh datang karena ada roh-roh
nenek moyang yang minta didoakan sehingga sampai saat ini pun orang-orang di
kota kecil dan di desa masih mengadakan festival atau semacam ritual untuk
mendoakan arwah leluhur. Namun, agama sebagai pedoman hidup, menganggapnya
sebagai kebutuhan, kebutuhan yang sampai seperti yang bangsa kita lakukan yaitu
sesuatu yang mempengaruhi sebagian besar cara hidup kita, aku tak merasa bisa
mengatakannya sampai situ. Cara hidup yang mereka anut, ialah cara hidup yang
alasannya masuk di akal. Mereka tahu, paham, mengapa mereka harus disiplin.
Mereka menjalani hidup dengan cara hidup yang ada kaitannya dengan hubungan
antar manusia. Selama mereka aman, nyaman, mereka tak butuh agama. Maaf jika
seperti judgement, itu hanya
pendapatku, opini dari apa yang selama ini aku lihat.
Sekarang, apa bedanya hidup logis mereka, ‘pemikir’ bangsa
Jepang dengan barat?
Mengenai hal ini, jujur, aku rehat menulis, 2, 3 hari aku
butuhkan untuk berpikir lagi. Bukan berpikir mencari perbedaannya. Tapi justru
selama 2, 3 hari itu aku semakin tak mengerti apa yang harus aku tulis. Aku
semakin tak mengerti dimana titik perbedaannya. Apakah benar berbeda? Jika sama
kenapa mereka tumbuh menjadi dua bangsa yang berbeda di mataku? Dan ketika aku
mulai menulis lagi karena aku rasa aku telah menemukan jawabannya, aku bingung
bagaimana harus mengungkapkannya dengan benar. Ya, memang. Terkadang banyak
sekali alasan mengapa kita tak mengungkapkan isi hati dan pikiran kita. Ketika
di dalam sebuah rapat kita terpikirkan suatu ide atau pertanyaan,
ujung-ujungnya kita tak jadi mengutarakannya karena berbagai alasan. “Apa jika
aku bertanya aku tak akan ditertawakan karena pertanyaanku bodoh?”, “Apa
pendapatku ini benar? Atau justru aku malah akan diserang balik karena tak tahu
duduk perkaranya?” Suara-suara hebat, yang mungkin saja suatu hari nanti mampu
mengubah dunia, terkadang terpendam, hilang tak berbekas, tak pernah keluar
satu kalipun dari mulut sang empunya hingga sang empunya meninggal. Dan itu
bukan hanya karena faktor dalam dirinya, tetapi juga ada faktor lingkungan yang
tanpa disadari hanya berkata, jika tidak “benar”, ya “salah”. Tanpa pernah
sekalipun ia berusaha mengerti tentang proses belajar sang pengutara pendapat
ini, lingkungan langsung men-judge
suara itu.
Maaf, jika tulisanku membuat kalian pusing tak mengerti
dengan arah pembahasan karena tiba-tiba membahas itu. Karena, bohong, jika aku
bilang aku menulis ini bukan karena ingin dimengerti, bukan karena ingin agar
kalian tak langsung mencap sesuatu padaku ketika aku mengungkapkan pendapatku
setelah ini meskipun aku berusaha membuatnya ‘halus’. Bukan sesuatu yang
berarti, hanya saja aku sedikit merasa berat hati untuk menulis sesuatu tentang
satu bangsa dari sudut pandang orang awam sepertiku yang notabene tak tahu
benar mengenai mereka. Oleh karena itu, senang rasanya kalau kalian bersedia
mengoreksi dasar dari opini seorang pembelajar sepertiku ini.
Kembali ke topik, beberapa orang yang aku lihat, aku temui,
dan aku dengar pendapatnya, membuatku merasa bangsa Jepang masih terpengaruh
dengan masa lalu mereka yakni sebelum restorasi Meiji. Jepang menutup diri
terhadap bangsa barat. Pada dasarnya mereka sama dengan bangsa kita. Diawal,
mereka sama-sama membiarkan cinta tumbuh dalam hati sama seperti kita. Cinta
terhadap tanah air dan cinta dengan pandangan hidup, ajaran, agama yang
berkembang di tanah air, yang didapat dari nenek moyang. Namun setelahnya apa
yang terjadi di Jepang dan di Indonesia sangatlah berbeda. Sistem pendidikan
dasar yang diberlakukan di Jepang mampu menjadikan negara itu maju dengan salah
satunya teknologi canggih yang kini mempengaruhi banyak bangsa terutama negara
berkembang. Guruku di Negri Sakura sana sangat membanggakan ilmu pengetahuan
yang dimiliki bangsanya sekarang. Robot berbentuk manusia yang mungkin akan
benar-benar digunakan suatu hari nanti di seluruh dunia. Bakteri dalam daging
babi yang telah hilang dengan teknologi mereka sehingga daging babi bisa
dikonsumsi dengan aman, kata guruku itu. Selain itu, Jepang adalah negara yang
bersih dan peringkat 8 dari 10 negara paling aman di dunia. Siapa juga yang tak
betah tinggal disana? Salah satu personality
radio yang aku dengar setiap hari Jumat pun bilang bahwa ia tak ingin pergi ke
luar negeri. Amerika misalnya, tak seperti Jepang dimana kepemilikan senjata api
harus dengan ijin, kita tak tahu siapa saja yang memiliki senjata api di
Amerika sana. “Rasanya seperti aku bisa saja terbunuh kapan saja”, katanya. Dia
tak ingin keluar negeri karena selain di negaranya sendiri pun masih banyak
tempat yang belum dikunjungi, baginya Jepang adalah negara paling aman, damai.
Tertutup. Tak terbuka. Hal itulah yang diwariskan sejarah
hingga, aku rasa, sampai saat ini kepada orang Jepang. Aku tahu tak semua
orang. Orang Indonesia yang selalu ramah juga tak semua. Hanya menyayangkannya.
Karena, dengan “mengurung diri dirumah” itulah, mereka tak memperoleh ilmu
pengetahuan yang tak ada dirumah mereka. Salah satunya ilmu religi, ajaran,
pandangan, filsafat hidup. Ada banyak agama, pandangan dan ajaran hidup di dunia
ini. Ada banyak tokoh pemikir filsafat hidup di dunia ini. Orang Jepang tak
tahu bagaimana kita, orang Indonesia, memuliakan sebuah pernikahan, sementara
banyak dari mereka tak menikah karena berbagai alasan. Karier, memang tak ingin
menikah karena merepotkan, dan lain-lain. Toh,
kebutuhan seperti cinta dan seks bisa mereka dapatkan tanpa harus menikah dan
memiliki anak. Hingga akhirnya membuat piramida kependudukan mereka terbalik.
Anime. Salah satu hal dari Jepang yang memang aku lebih
banyak mendengar tentang itu dibandingkan hal lain. Pemilik rumah produksi
menantikan ketika sebuah anime yang mereka rilis diminati banyak orang di
Jepang sana. Penggemar itulah yang menjadi pasar mereka ketika baru 4, 5 minggu
sebuah anime rilis mereka sudah mengeluarkan banyak merchandise untuk dijual secara terbatas. Semakin berkembang bisnis
itu sekarang, hingga ada saja barang-barang aneh yang bangsa itu ciptakan,
namun semata untuk memuaskan kecintaan mereka terhadap karya itu, dan bagi
pengembang, ya, seperti yang kalian tahu, disamping karakter mereka yang memang
hanya akan membeli barang original buatan dalam negeri sebagai ungkapan bahwa
mereka menghargai si pembuat cerita karya aslinya.
Kecintaan itu, yang menurutku, meskipun bangsa Jepang juga
memiliki ‘unsur’ pemikir seperti bangsa barat, selama mereka bisa hidup nyaman,
aman, karena memang seperti itulah negri mereka sekarang, mereka tak perlu
mencari lagi yang lain. Mereka sekarang hanya ‘tinggal’ fokus pada karier,
kehidupan ‘dunia’ mereka. Perihal mereka juga tahu ada surga dan neraka, dimana
tempat mereka akan pergi setelah mati, dan ‘mungkin’ mereka yakin akan tinggal
di surga, serta atas dasar apa, jaminan apa yang mereka punya sehingga bisa
dengan santai hidup di dunia tanpa terpikir ‘mungkin nerakalah yang akan jadi
tujuan akhir hidup mereka’, aku tak tahu. Mungkin suatu saat kita bisa tanyakan
pada mereka.
Kecintaan yang dimiliki bangsa kita juga sebenarnya sama.
Atau justru lebih parah. Karena kami hanya menuliskan itu sebagai agama kami di
KTP tanpa benar-benar memikirkan ajaran itu, mengaplikasian apa yang ajaran itu
ajarankan pada kami di kehidupan kami. Sehingga, ya, seperti ini sajalah terus,
Indonesia. Tapi, semoga kita selalu dalam lindunganNya.
Jadi begitulah. Setinggi apapun puncak yang telah kita daki,
semaju apapun bangsa kita, diluar sana bangsa lain, telah menjalani hidup
dengan, mungkin, pandangan hidup yang lebih ideal, lebih logis, lebih manusiawi
dari yang kita anut. Dari pandangan hidup yang kita tahu selama ini. Dari
pandangan hidup yang selama ini kita genggam hanya karena itu warisan orang
tua, bawaan nenek moyang. Jadi, jangan menyerah mencari kebenaran.
Itu tadi, Indonesia dan Jepang. Sekarang giliran bangsa
barat. Bagaimana pendapat kalian mengenai bangsa barat dilihat dari sisi lain
selain ‘pemikir’?
Aku melihatnya sebagai bangsa yang memiliki beberapa budaya
yang sama seperti Jepang. Minum-minuman keras, seks bebas, dan beberapa pekan
lalu media memberitakan demonstrasi yang dilakukan di New York, kalau aku tak
salah ingat, oleh sekelompok wanita dimana mereka menuntut agar kaum wanita
diberi hak atau kebebasan untuk bertelanjang dada seperti kaum pria, karena
mereka menganggap itu juga salah satu bukti kesetaraan gender. Sebenarnya jika
ditarik kesimpulan tak ada yang perlu aku ‘komentari’ mengenai bangsa barat. Kenapa?
Karena berbeda dengan Jepang, mereka adalah bangsa yang terbuka. Pemikiran
mereka terbuka. Mereka mengetahui semua ilmu yang ada di dunia ini. Mereka mampu
dengan mudah mendapatkan ilmu bahkan dari luar bumi sekalipun. Dan selama itu
logis, masuk akal, sesuai dengan ilmu pengetahuan atau kebenaran yang selama
ini telah diketahui, mereka bisa saja mengakui ilmu itu sehingga ‘kebenaran’ dengan
mudah datang dan merangkul sebagian dari mereka. Hanya saja, tak sedikit juga
orang barat yang tak mendapat kesempatan keluar rumah. Bukan tak ingin, tak ada
kesempatan untuk melihat langsung apa yang ada di luar rumah mereka. Tak
sedikit juga yang tak terpikir bahwa diluar sana ada hal ‘aneh’ yang patut
untuk mereka coba ‘pikirkan’. Yang sedang mencari kebenaran, yang telah
mendapat kebenarannya memang sedikit. Namun karena mereka memutuskan mengambil
jalan yang memang benar, hidup mereka juga akan benar, di dunia ataupun nanti
setelah mereka mati. Karena mereka paham mengapa mereka mengambil jalan itu, sangat
mengerti mengapa jalan ini ‘benar’, mereka tak akan mudah terhanyut dengan yang
lain. Mereka akan mencintai jalan itu. Cinta yang sesungguhnya. Cinta yang
abadi, karena mereka tahu mengapa mereka bisa mencintai jalan itu. Dengan
melangkah di jalan yang benar, menjalani hidup dengan cara yang benar, kebaikan
dan kualitas hidup, hasil yang baik akan mengikuti. Sedikit demi sedikit, namun
jika semua orang barat itu mampu mendapatkan kebaikan hidup, hasil yang baik
itu, Amerika yang sekarang sudah menjadi negara adidaya akan menjadi sebesar
apalagi di masa depan nanti?
Kalau Indonesia, maaf, aku sedikit bersyukur Indonesia
adalah negara yang ‘terpuruk'. Bercanda. Tapi, sungguh, dengan kondisi kami
sekarang, negara berkembang, kami mau tak mau pasti melihat ke atas. Kami
menyadari benar kondisi kami, yang masih jauh dari kata ‘enak’. Kami tahu benar
bahwa banyak negara yang lebih maju di luar sana. Dan yang terpenting, aku
bersyukur karena ‘kesadaran’ akan kondisi itu diketahui, menyebar di hampir
seluruh elemen masyarakat. Hanya saja, kami tahu kondisi kami, tapi tak ada
usaha nyata dari masing-masing individu warga negara Indonesia untuk
mengubahnya. Sedih. Orang Indonesia hanya menerima ilmu religi tanpa kemudian
mempelajarinya dengan sungguh-sungguh. “Pasrah, sudah takdir. Rezeki setiap
orang, takdir setiap bangsa sudah ada yang mengatur”. Lupa kalau ajaran yang
kita anut juga mengajarkan kita untuk berusaha, bekerja keras. “Hidup diri sendiri
saja belum bener, mau mikirin negara?” katanya. Setelah tahu ada anak tukang
becak, petani, bisa lulus S1 cumlaude
di universitas terkemuka di Indonesia dan melanjutkan studi S2 di luar negeri
dengan beasiswa penuh, masih akan mengatakan hal seperti itu? Setiap individu
memiliki potensinya masing-masing. Dibidang apapun itu, dan tak harus menjadi
lulusan terbaik di perguruan tinggi ternama. Mungkin saja kau yang sedang duduk
membaca entri ini adalah salah satu yang akan mengubah dunia. Kata temanku,
mimpi jangan setengah-setengah. Daripada mengubah Indonesia mengapa tidak
mengubah dunia saja sekalian. Dunia belum damai, bung. Masih banyak saudara kita yang kelaparan, kekurangan air, dan
menjadi korban kejahatan kemanusiaan. Jadi, jangan diam! Bergerak! Bangun! Pergi
sana, cari ilmu! Cari kebenaran dimulai dari apa yang sedang kau anut, kau
tekuni terlebih dahulu. Gali passionmu!
Tak usah berat dipikir. Sedikit demi sedikit. Yang penting dilalui dengan cara
yang benar. Hasil akan mengikuti.
Dan sekali lagi semoga kita tak ‘hidup sekedar hidup’.
Bekerja lalu menerima gaji. Hanya itu. Lakukanlah sesuatu. Buatlah sesuatu.
Sesuatu yang ‘belum’ dilakukan orang lain. Bukan yang ‘tak’ dilakukan orang
lain ya. Mencuri mangga tetangga juga tak dilakukan orang lain. Hal baik yang
‘belum’ dilakukan orang lain. Semua orang melakukan hal baik. Namun yang
pertama yang melakukannya, dia lah yang dikenal, dikenang oleh orang-orang. Ketika
dikantor kalian melakukan suatu hal baik, menjadi kebiasaan, orang-orang melihatnya
dan kemudian mengikutinya, menjadi kebiasaan baik dikantor, memberikan dampak
yang baik untuk perusahaan, semua orang akan mengenalmu termasuk atasan. Atau
pikirkan dirimu sendiri saja. Kau dan aku ingin yang terbaik untuk hidup kita
masing-masing, maka lakukanlah yang terbaik, capailah yang tertinggi meskipun
itu dalam hal kecil sekalipun. Ketulusan hati menuju kebaikan dan kerja keras
tak akan mengkhianati. Dimulai dari diri sendiri pun tanpa sadar itu adalah
kebermanfaatan untuk lingkungan sekitar kita. Barulah kita memikirkan
kebermanfaatan hidup kita untuk lingkup yang lebih luas.
Setiap orang memiliki kelebihan dan kekurangan. Setiap
bangsa memiliki karakteristiknya masing-masing. Kekuatan dan kelemahannya masing-masing. Sekarang, apa yang
akan kau lakukan untuk menghilangkan kekurangan dan kelemahan negatif yang ada
dalam dirimu?
Mari saling berbagi, saling mendoakan. Kau dan aku untuk
hidup yang lebih bermanfaat.
Jayalah Indonesiaku!
Salam. :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar