Blogger Widgets

Jumat, 05 Juli 2013

Review Novel "An Artist of the Floating World" by Kazuo Ishiguro

Resensi

Judul: An Artist of the Floating World
Pengarang: Kazuo Ishiguro
Penerjemah: Rahma Wulandari
Penerbit: Elex Media Komputindo, 2013
Tebal: 226 halaman


Sinopsis

Jika pada suatu hari yang cerah, kau mendaki jalan curam ke arah bukit dari jembatan kayu kecil yang dikenal sebagai “Jembatan Keraguan”, kau akan mendapati atap rumahku tampak di antara ujung dua pohon gingko. Bahkan, meskipun posisi rumahku tidak terlalu strategis, bangunan itu masih akan tetap mencolok dibandingkan dengan rumah lain di sekitarnya, dan kau akan mendapati dirimu membayangkan sekaya apa pemiliknya.

Namun, aku bukan, dan juga tidak pernah, menjadi orang kaya. Aku membeli rumah ini pada masa sebelum perang dari seorang hebat, Akira Sugimura, dengan harga murah. Tentu dengan negosiasi dan berbagai investigasi yang ditujukan keluarga Akira padaku. Mereka ingin menyerahkan rumah itu pada orang yang tepat. Dan sampai akhir perang, aku tinggal di rumah ini hanya bersama anak ketigaku, seorang wanita yang saat ini sedang bernegosiasi mengenai pernikahan. Istri dan putra pertamaku terbunuh saat perang, sementara anak keduaku telah tinggal bersama suaminya jauh dari rumahku. Karena perang pulalah, aku banyak menghabiskan waktu berdiam diri dirumah, merenovasi rumah dengan banyak kerusakannya, dan menikmati masa tuaku.

Di rumah ini aku mengenang kehidupanku saat aku masih menjadi seorang pelukis yang butuh bimbingan 
hingga sekarang menjadi seorang kakek yang sedang menjalani masa pensiunnya. Mengenang saat aku diterima di firma Tuan Takeda. Bekerja menghasilkan banyak lukisan dan mengambil banyak pelajaran kehidupan darinya. Hingga Si Kura-Kura, yang tak mampu menyesuaikan diri dengan kami yang mampu menghasilkan banyak lukisan dalam waktu singkat, membuatku pindah dan keluar dari firma itu. Kami bersama datang ke villa Tuan Mori dan melanjutkan pembelajaran mengenai seni lukis di sana. Masih kuingat suatu malam saat aku memutuskan untuk tak lagi menjadi seniman di dunia awang-awang dan pergi dengan kepercayaan dari Tuan Mori bahwa aku dapat menjalani kehidupan di luar sana.

Aku masih mengingat kolega-kolegaku di Kedai Mrs Kawakami di Migi-Hidari. Tempat kami berkumpul dan bertukar pikiran mencoba mempertahankan kedai dari sebelum perang pecah hingga akhirnya kini di atas tanah yang dulu berdiri kedai Mrs Kawakami telah berdiri kokoh gedung-gedung tinggi. Keoptimisan kami ternyata tidak mampu mempertahankan tempat investasi kami di tengah kondisi Jepang yang berusaha bangkit dari kekalahan dalam perang.

Selain itu, hal penting lainnya yang sangat kuat ada di ingatanku mengenai negosiasi pernikah putri bungsuku dengan keluarga Miyake yang gagal sesaat sebelum perang hingga negosiasi dengan keluarga Dr Saito yang berjalan lancar.

Suasana Jepang pulih dengan cepat dalam beberapa tahun ini, hatiku dipenuhi dengan kebahagiaan yang murni. Tampaknya, apapun kesalahan yang sempat diperbuat di masa lalu oleh bangsa kita, kini mendapatkan kesempatan baru untuk direlakan. Kita hanya dapat mendoakan yang terbaik untuk para pemuda ini.


Amanat

“Belajar di firma Takeda,” kataku pada mereka, “telah memberikan sebuah pelajaran penting lebih awal dalam hidupku. Saat itu, memang benar kita harus menghormati seorang guru, dan mempertanyakan wewenang mereka juga sangat penting. Pengalamanku di firma Takeda mengajarkanku agar jangan pernah mengikuti arus dengan membabi buta, namun harus mempertimbangkan benar-benar ke mana arah itu mendorongku. Dan ada satu hal yang ingin kutekankan untuk kalian lakukan, terbanglah di atas semua gelombang kehidupan. Lewatilah semua pengaruh kemunduran dan yang tidak diinginkan yang telah menenggelamkan kita dan melemahkan saraf bangsa kita begitu rupa selama sepuluh, lima belas tahun terakhir ini.” (halaman 80-81)

“Judulnya: “Semangat Patriotisme”, sebuah judul yang mungkin akan membuat kau membayangkan lukisan berisi para tentara sedang berbaris atau semacamnya. Tentu saja, intisari lukisan Kuroda menekankan bahwa semangat patriotisme dimulai dari tempat yang tak terduga, dalam rutinitas kehidupan kita sehari-hari, di tempat kita minum-minum bersama dan teman-teman yang bergaul dengan kita. (halaman 82)