Blogger Widgets

Selasa, 25 Oktober 2016

Jiyuu Matsuri Universitas Negeri Jakarta 2016

Pagi semuaaaa,,,
Hooo... \(^O^)/

Kali ini aku mau bawain yang special,, (9 >o<) 9 !! Pake telor ma sosis... :9


Seperti entriku dua tahun yang lalu,, aku mau kasih kabar tentang event jejepangan yang kalian tunggu-tunggu ni,, Tadaaa~~


JIYUU MATSURI
UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA
2016

dengan tema

"Harmony in Diversity"

Sabtu - Minggu, 5 - 6 November 2016
di Kampus A Universitas Negeri Jakarta


Itu dia poster utamanya.. Banyak kan acaranya,,




Melalui tema, "Harmony in Diversity", yang diangkat tahun ini,, Jiyuu-chan dan Kang Matsuri pingin kasih liat tradisi Indonesia-Jepang buat mempererat keharmonisan dalam perbedaan antar dua negara ini... B)

Pokoknya dijamin deh,, JIMAT tahun ini pun bakal kasih kesan yang ga bisa dilupakan! Soalnya banyak banget performance-performance kece abis luar biasa yang bakal menghibur kalian semua!!


Dan "banyak lainnya" (*kata-kata suka-suka XP),, yang ga boleh dilewatin jugaaa,,,


Seminar sekaligus pembukaan acara JIMAT kali ini,, menghadirkan komikus yang komiknya lagi booming ni,, Kebangetan deh kalo ga tau Kak Faza, creator Si Juki... Biar ga kudet,, makanya dateng yuk, ke seminarnya.. Pengetahuan yang berharga banget ni terutama buat kamu yang pingin jadi komikus keren kaya Kak Faza..


Buruan yaaa,,, seat terbatas loooo!!

Nah kalau yang ini buat kamu yang jago makan.. Jangan sampe kelewatan ya.. Apalagi ada menu spesial.. Langsung aja,,


Khekhekhe... #senyumsetan


Yang jago cosplay aku tunggu lo,, cosplay Aoi Hinata ma Aoi Yuuta... XDD *becanda



Kalo workshop tahun ini udah ada yang tahu belum??
Kece banget! Kalo mau keren, harus ikut!! Nih!


Aku pingin banget ikut! >.<)8
Pingin bisa utak-utik musik sendiri.. B)


Iyo iyoooo,,, workshopnya masih ada lagi niiii... Dari yang suka mochi,, yang pingin bisa bikin mocccch sendiri,,, sampe yang ga tahu apa itu mochiiiiii... *sedih ga pernah makan mochi XD

Ini diaaa,,, workshop Mochi hadir di JIMAT 2016. Buruan daftar!!



Kalau yang mau bikin bentou (bekal makan) lucu,, daftar aja untuk ikut workshop Bentou.. Ni,, dicatet kontaknyaaa,,,




Lagi, lagi,, lagiiiii...

Ga kalah seru ni! Obakeyashiki!! Khikhikhiii...
Konsep kali ini beda looo,, penasaran?? Makanya dateng ke Jiyuu Matsuri UNJ!!




Udah bisa bayangin dong keseruan JIMAT tahun ini.. Ga sabar??? Pokoknya aku tunggu partisipasi dan kedatangan kalian ya,,,





Nah,, yang pingin tahu lebih lanjut,, follow dan kepoin JIMAT di akun-akun ya..

Instagram: Jiyuu Matsuri UNJ
ID Line: dte8157w


Sampai ketemu di Jiyuu Matsuri 2016 !!! \(^O^)

Eh, jangan lupa ya,,, FREE ENTRY !! :)b

Sabtu, 22 Oktober 2016

Apa itu "Aksi Mahasiswa" di matamu?

Jujur, selama jadi mahasiswa, sekarang juga masih mahasiswa sii,, yang namanya ikut aksi turun ke jalan, ke luar kampus, belum pernah sama sekali. Dasarnya ga gaul sampe ke BEM Fakultas apalagi BEM Universitas. Antara ga PD, ngerasa ga punya kemampuan kaya temen-temen yang,, apa ya, "aura aktivis"nya keliatan, atau yang asli kritis. Aksi seumur-umur, waktu nolak UKT naik, di dalam kampus sendiri.

Tapi bukan berarti ga suka aksi. Dukung malah. Pingin si,, sesekali ikut. Plus nambah wawasan juga terutama lebih tau dengan apa yang lagi jadi tuntutan. Jadinya, selama ini cuma update info dari sosial medianya BEM Universitas atau BEM SI (Seluruh Indonesia). Ga pernah mau ketinggalan, Walaupun 'belum' ngerti banyak. Sekarang cuma bisa retweet atau ngeshare ulang info yang mereka update.

Pun diri sendiri ga benci atau ga suka dengan Aksi Mahasiswa,, "orang lain ga terlalu mendukung" juga ga pernah kepikiran sama aku. Dulu sempet si, "dibilangin", katanya jangan keprovokasi,, akunya cuma bales "Engga ko,, itu bukan upaya provokasi" selebihnya diem. "Udah lah, ga usah ditanggepin", pikirku.

Tapi sekarang, akhirnya ngerasain sendiri. Cuma ngeshare tulisan Mahasiswa Baru Kemarin Sore dari Depok di grup Whatsapp. Eh, dapet tanggepannya,,,

Ini link Facebook BEM UNJ. Tempat ngikutin info aksi 20 Oktober, 2 tahun kepemimpinan Jokowi-JK, menagih Nawacita. Tapi tulisan lengkap itu ga ada, karena dipotong-potong untuk beberapa postingan. Ga papa kali ya,, aku share..


Kemarin, 20 Oktober 2016. Kembali barisan para mahasiswa menulis catatan sejarah, bertepatan dengan momentum 2 tahun kepemimpinan Jokowi-JK, aliansi dari BEM SI menyatakan sikap, menagih janji dan mengemukakan pendapatnya terhadap rezim yang sedang berkuasa saat ini.
Banyak terjadi blunder politik yang dilakukan Jokowi dan JK, hal ini pula menyebabkan terciptanya ungkapan "Presiden Tergagal".

Bersyukur, Alhamdulillah, Allah masih gabungkan saya dengan barisan para pejuang - pejuang dan penyambung lidah rakyat, Mahasiswa. Terlihat wajah dari berbagai macam suku dan ras di Indonesia ini dan menandakan pula bahwasanya persoalan yang dihadapi Bangsa ini bukan masalah kecil, ini masalah bersama, ini masalah kita, Bangsa Indonesia. Kagum dengan mereka yang tergabung dalam satuan aksi BEM SI, nampak militan namun bukan ekstrimis, terlihat jelas wajah - wajah Nasionalis dan darah juang mengalir di dalam diri mereka. Mengensampingkan perbedaan warna almamater dan status kampus masing - masing demi Negeri tercinta ini. Indonesia.

Jujur, ini adalah aksi skala Nasional pertama yang saya ikut turut ambil bagian didalamnya, saya merasakan betul bagaimana hangat nya aspal jalanan menyambut, teriknya matahari yang hampir saja membuat saya berfikir dua kali untuk turun aksi, namun semangat perjuangan tiba - tiba masuk kedalam diri ini tatkala saya melihat masa aksi yang sudah lebih dahulu hadir di lokasi menyambut dengan pekikan hangat #HidupMahasiswa kepada masa aksi yang baru bisa bergabung dengan masa aksi dari BEM SI sekitar jam 16.00 WIB(Waktu Indonesia Berjuang), keadaan semakin memanas ketika masa aksi BEM SI mencoba merangsak masuk untuk lebih dekat ke gerbang Istana, sempat terjadi aksi saling dorong dan insiden pemukulan mahasiswa oleh polisi, aneh aja, polisi yang disubsidi oleh uang rakyat justru malah menyakiti dan mencederai rakyat...
Satu pernyataan sebelum masa aksi berakhir yang dilontarkan dari Bang Fajri selaku korlap Aksi Nasional kemarin "Kayaknya reformasi jilid 2 harus bener - bener terjadi nih temen temen" diatas mobil sound, dan dengan suara yang sangat meyakinkan, bukan tanpa alasan Bang Fajri bilang seperti itu, tidak adanya itikad baik dari pihak istana sendiri lah yang memicu keluarnya pernyataan tersebut.

Singkat cerita, berakhirlah aksi nasional hari itu, berakhir dengan penuh kekecewaan, hari itu Pak Presiden yang katanya "Presiden Rakyat" malah enggan menemui rakyatnya sendiri, Mahasiswa.
Dan aksi hari itu di akhiri dengan upacara pemakaman foto Jokowi dan JK sembari menyanyikan lagu "Mengheningkan Cipta" sebagai tanda bahwasanya telah MATI hati nurani Pak Presiden kita, telah gagal Presiden kita dalam menepati janji janji manis Nawacita.

Belum lagi kekecewaan terhadap tanggapan - tanggapan negatif orang sekitar yang di tujukan kepada para mahasiswa, mereka menganggap remeh dan menganggap bahwasanya pergerakan Mahasiswa ini tidak penting dan membuang buang waktu serta energi, bahkan makian dan ucapan sinis terucap dari lisan orang - orang yang ngakunya sebagai mahasiswa.

"Ngapain aksi coba? Buang buang tenaga aja"

Kalau ada temen kalian yang dari mulutnya keluar kata kata seperti di atas, berarti kita sama.
Teman, tenaga dan energi yang kami buang dan kami dedikasikan kepada rakyat ini belum ada apa apanya, bahkan ibarat masih seujung kuku, dibandingkan dengan penderitaan rakyat kecil yang hidupnya susah karena di tindas kebijakan - kebijakan rezim pemerintahan...

"Halah, kerjaannya nuntut mulu, dikira presiden kerjaannya satu doang kali, liat dong udah banyak kok kebijakan kebijkan presiden yang mensejahterakan.."

Ada dua kemungkinan. Kemungkinan pertama, dia belum terbuka wawasan kebangsaannya, belum tau apa yang di alami bangsanya saat ini, menganggap kinerja presiden baik baik saja. Dan kemungkinan kedua, dia fans fanatik rezim penguasa.

"Presiden juga manusia, pasti pernah salah... Toh juga masih ada 3 tahun lagi masa jabatannya, terlalu cepet kalo kalian bilang jokowi gagal"

Betul, memang pak presiden kita juga sama seperti kita, sama - sama manusia. Yang membedakan hanya treatment media saja, kalau kalian bilang terlalu cepat untuk kami mengatakan bahwa Jokowi dan JK telah gagal, lantas kapan waktu yang tepat untuk kami mengatakan mereka telah gagal? Sampai masa jabatannya berkahir? Keburu hancur Negeri Ini!!!

"Ahh sok ngerti politik lu"

Bukan sok ngerti, tapi emang kepengin ngerti, biar gak gampang dibodohi sama rezim penguasa, karena buta yang terburuk adalah buta politik.

"Hahaha dapet apaan sih lu ikut aksi?"

Memang kami tidak mendapatkan apa - apa, teman. Dan kami pun tidak mengharapkan untuk dapat sesuatu yang bersifat imbalan, niat hati kami ikhlas, berjuang untuk mengedepankan kepentingan rakyat, bukan kepentingan korporasi atau pemilik modal.

Untuk kalian rekan-rekan mahasiswa seperjuangan, inilah jalan para pejuang, banyak rintangannya dibanding mulusnya, banyak sedihnya dibanding senangnya, banyak musuhnya dibanding temannya.

Kekecewaan pun tak berhenti sampai disitu, karena pagi ini media tak ada yang menjadikan aksi nasional sebagai headline news besar, adapun media yang memasukan aksi nasional kedalam headline news nya tak jauh jauh dari tagline berita :

"Aksi Mahasiswa berjalan ricuh dan anarkis"

Imbalan apa yang telah kau dapat wahai media? Kau fitnah pergerakan mahasiswa dengan tuduhan keji dan kotor.

"Ratusan mahasiswa kepung istana"

Dulu ketika kalian sekolah berapa nilai raport pelajaran matematika kalian wahai para awak media? Ribuan namun kalian bilang ratusan.

Seperti yang saya singgung diatas, bahwasanya yang membedakan kita dengan rezim penguasa adalah treatment media.
Media seolah-olah telah dibeli dan dijadikan alat untuk 'membersihkan' nama rezim penguasa yang telah kotor dan hina.

Rekan-rekan mahasiswa seperjuangan, ternyata dijalan ini lebih banyak rintangan, cacian, fitnah dan tuduhan - tuduhan kotor lainnya. Jadi, biasakanlah diri kalian rekan - rekan.
Karena, selagi masih jadi mahasiswa, selagi masih muda, selagi masih semangat dan selama darah juang ini masih mengalir di dalam tubuh, SERUKANLAH KEBENARAN! LAWAN LAH KEBATILAN SERTA KEZALIMAN REZIM PENGUASA.

HIDUP MAHASISWA!!!
HIDUP RAKYAT INDONESIA!!!
#JokowiSombong
#PresidenHilang

Oleh, Mahasiswa Baru Kemarin Sore.
Depok, 21 Oktober 2016



Aku,, dapet tanggepannya,,, ya, intinya,, "Kalau saya sih, mending bekerja lah. Bekerja, usaha, ibadah, sedekah. Untuk pemimpin, baru 2 tahun, dan banyak gebrakan yang dibuat sama Presiden. 
Dukung pemerintah, bantu doa, awasi kinerja, tak perlu demo ke Presiden. Toh, Presiden sudah bekerja semampunya.
Mau siapa pun presidennya, kalo kita pribadi gak bekerja, yah gak bisa beli makan sendiri.
Jangan kebanyakan mengkritik, menilai orang, berharap lebih dari orang lain. Tapi harapkan diri sendiri untuk bisa lebih berkontribusi. #sedikitopini", katanya.



Opini seperti itu ga salah. Aku ga pernah mau nyalahin orang. Soalnya kalau ada yang salah, ya aku juga salah. Dan aku harap kalian membaca "kejengkelanku" dibawah ini, tolong jangan mikir karena tanggepan yang itu aja.. Karena temen-temen mahasiswa juga ga sedikit yang dapet tanggepan sama.


Maaf. Sekali lagi aku minta maaf. Aku bukan orang suci. Sok bijak dan sok suci, terserah kalian mau sebut apa. Tapi aku harap aku dianggap sebagai anak kecil yang sedang mengungkapkan kekesalannya karena keluhannya ga didengerin sama "mama papa".


Terserah kalian mau menganggap apa demo buruh, sopir taksi, atau petani dimata kalian. Tapi mahasiswa menyandang status "mahasiswa" bukan buat pamer dipandang kalangan terpelajar. Status mahasiswa itu yang menuntut kami agar tak asal demo. Kami mengkaji. Mengkaji bukan 1 minggu sebelum demo kurasa. Kami memperhatikan kemana kaki pemerintah melangkah dari awal mereka memimpin. Mana yang diinjak. Mana yang dituju. Apa tujuan dan pertimbangannya.

Ketika kita sudah mengawasi kinerjanya, ketika ada yang tak dijalurnya, apa kami tak protes? Apa kami tak menegur? Apa lantas kemudian kami diam? Jahat sekali. Kalau didiamkan kemudian Indonesia hancur, salah siapa? Kalau bukan mahasiswa, jembatan antara masyarakat dan pemerintahan yang protes, lantas siapa?

Apa kita harus diam? Kenapa takut protes? Kenapa takut mengkritik? Atau bukan takut, tapi tak peduli. Selama diri masih aman, bisa makan, bisa tidur di kasur yang empuk, mana mau capek-capek turun ke jalan.

Teman-temanku mahasiswa melakukan aksi berbekal kitab mereka, data, pena, dan suara. Tak ada bambu ataupun rotan. Tapi yang mahasiswa dapat? kepala teman kami bocor kena pukul rotan oleh polisi.

Media bungkam! Boro-boro jadiin Aksi Mahasiswa headline news,, berita tak sesuai kenyataan lah yang keluar. Media sudah tak lagi netral. Media sudah berpihak.

Kejahatan paling,, kejam, tak bisa dimaafkan,, bagiku,, adalah ketika hak suara dibungkam! Atau, kritik sedikit dicekal? Tak ada lagi tempat agar suara rakyat didengar! Tak ada lagi yang mau menyerukan suara rakyat! Tak ada! Tak ada yang peduli ketika ada yang teriak dijalan karena takut terlibat. Karena takut kehidupan aman, damai, dan tentramnya selama ini terusik. Tak mau terlibat karena takut tak bisa makan besok.


Maaf, tapi jujur, aku jengkel, kesal. Sakit, ketika tak ada yang mau menolong rakyat yang sedang didzalimi. Tak ada yang peduli. Semua jadi boneka. Disetir. Diatur. Agar tak ada yang mengkritik.

Masyarakat makin berilmu. Yang sekolah sampai perguruan tinggi makin banyak. Bahkan sampai ke luar negeri. Tapi hati nuraninya, MATI!

Selasa, 18 Oktober 2016

Politik Sebelum Tidur (Sebuah Pesan yang Menyadarkan Kita akan Skenario Politik)

Malam semuaaa... XD


Langsung aja ya.. XD

Politik emang bukan bahasan yang bisa dibawakan di semua lingkaran obrolan. Apalagi remaja ke bawah. Tapi kami yang mahasiswa, perbincangan itu selalu terdengar di beberapa sudut kampus. Tak hanya di kampus, di kost juga.

Kaya malam senin kemarin. Sebelum tidur, aku sempet ngobrol soal isu-isu yang lagi hangat sekarang ini sama temen sekamar. "Di politik itu banyak skenario" aku sudah tahu tentang itu bahkan ketika SMA. Tapi itu hanya sebagai pengetahuan. Berkat obrolan malam itu, aku kembali sadar tentang skenario politik, tak hanya sebagai pengetahuan tapi sudah sampai tingkat memikirkan akibatnya atau bagaimana jadinya nanti ke depan kalau seperti ini, kalau seperti itu. Karena yang aku tahu tentang dunia, Indonesia, sekarang lebih banyak dari pada dulu waktu SMA, otomatis yang dipikirkan jadi banyak, macem-macem.


Huwaaaaa,,, kepala aku penuh!




Puncak perbincangan itu ketika kami yang beberapa menit mencari sebuah artikel di kompasiana, tapi kompasiana ga kebuka-buka padahal web lain bisa. Kami search di google dengan berbagai keyword tapi ga kunjung ketemu. Sampai akhirnya aku masukkan keyword "politik sby jokowi", ketemu. Artikel kompasiana yang jadi target kami, berjudul,,, "SBY Merusak Skenario Jokowi", sebuah tulisan oleh Yon Bayu. Tapi halaman itu ga bisa dibuka cuma dengan ngeklik judul itu seperti biasa. Aku buka lewat cachenya. Aku save page dan aku copy isinya. Tapi semuanya mungkin karena webnya sedang bermasalah. Kalian bisa search lagi di Google.

Tapi, sekarang udah ada artikel di kompasiana juga yang menanggapi tulisan itu berjudul "Blunder SBY Antar Ahok Wujudkan Skenario Jokowi (Menanggapi Artikel SBY Merusak Skenario Jokowi)" oleh Omri L Toruan.

Aku tak berpegang pada ini, baik artikel yang pertama ataupun kedua. Tapi aku membaca keduanya karena itu membuatku sadar akan hal-hal seperti ini dalam politik. Selanjutnya aku hanya tinggal mengenal calon pemimpin kami dari fakta yang ada dan berdasarkan ajaran agamaku aku memilih.




Selain soal artikel itu, aku juga memikirkan tentang media kita. Saat ini kepalaku terlalu pusing untuk menulis, memikirkan kata-kata sebenarnya,, tetapi pada kesimpulannya, aku menulis seperti ini di entriku yang baru aku publish tadi pagi,,
"Sama seperti di Indonesia, ups. Semoga saja, berita yang diangkat, dibahas media bukan berita yang diinginkan masyarakat saja, apalagi kita tahu masyarakat kita tak sedikit yang lebih menyukai berita soal orang lain yang tak ada hubungannya dengan negara, serta mudah terbawa isu juga menjadi salah satu ciri masyarakat kita. Aku berharap media di sini menjadi media yang mendidik, netral, dan benar-benar memberikan informasi yang contohnya saja bisa membuka wawasan dan pikiran masyarakat kita terhadap dunia, tentu saja fakta. Mungkin ‘NETRAL’ adalah kata yang sensitif untuk media kita saat ini." (Lebih Kangen dari Naruto)


Ada sedikit yang ingin aku katakan pada saudara-saudara seimanku. Maaf, ini bukan pesan dari ulama apalagi wejangan dari eyang, hanya pendapat pribadiku yang tak bisa lepas dari kata salah,, berkaitan dengan isu penistaan agama oleh gubernur DKI Jakarta.

Rasanya ingin mengungkapkan pertanyaan-pertanyaan seperti,, "Lagian,, kenapa si bapak bahas soal hak pilih di pidato di Pulau Seribu? Ini kan bukan masa kampanye. Bapak kan kesana sebagai gubernur, bukan kandidat gubernur". "Lagian,, kenapa si bapak ngomongin soal dasar hak kami memilih. Kami ga melarang bapak mencalonkan diri,, silahkan saja. Hak memilih itu hak kami. Atas dasar apa kami memilih itu terserah kami, tidak usah di bahas".

Saudara-saudaraku seiman,, tak hanya ayat tersebut seperti yang sedang diperbincangkan yang melarang kita memilih pemimpin berbeda aqidah. Ustadz Felix Siauw yang mengatakannya, tapi maaf aku kehilangan status facebook beliau yang berisi soal itu, nanti dicari lagi. Kalau aku,, yang aku tahu agama kita juga menganjurkan agar pemimpin jangan perempuan, atas dasar itu aku tak pernah memilih perempuan sebaik apapun ia. Sama dengan yang berbeda aqidah.

Saudaraku,, sebaik apapun dia, yang tahu isi hatinya hanya dia dan Sang Pencipta. Pun kalau saat ini niatnya sangatlah baik yakni berjuang semata hanya untuk Indonesia,, tapi kedepannya apakah ia mampu bertahan dari berbagai godaan, apakah ada yang bisa menjamin dia akan selalu baik, yang tahu soal masa depan seperti itu hanya Yang Maha Tahu. Yang Maha Tahu telah memberitahu kita dengan ayat-ayatnya. Tentu saja ayat itu bukan ayat yang tak bisa ditafsirkan atau ayat dimana yang mengetahui maksudnya, maknanya hanya yang membuat, Tuhan, dan utusanNya. Jika seperti itu, untuk apa ayat itu disampaikan pada kita, jika kita tidak akan pernah bisa tahu apa maksudnya. Apa gunanya kamu mengirim sms ke teman kalau temanmu tak mengerti apa maksudnya, hanya karena dia berpegang pada prinsip bahwa yang mengetahui maksud sms itu hanyalah yang membuat. Sekali lagi, Yang Maha Tahu telah memberitahu kita. Memberitahu hal-hal yang tak akan mungkin bisa kita capai dengan akal manusia. Akal manusia tak akan sanggup mencapainya. Tuhan yang mengatakan. Tuhan Yang Maha Tahu Segalanya.

Pun ketika pacarmu berjanji dan berkomitmen akan menikahimu kelak. Kita tak tahu apa yang akan terjadi ke depannya. Lagipula, kalau dia bilang dia menyayangimu, masa si, dia tega menjerumuskanmu ke jurang zina bernama pacaran. Zina itu macam-macam yaaa, termasuk zina hati, zina perasaan.

Haduuuh, maaf ya.. Terlalu ngegas. XP.. Tapi itulah logikaku. Ga bermaksud sok tahu apalagi sok suci. Selama ini banyak yang bungkam karena takut dibilang seperti itu. Mungkin aku belum bisa menerapkan hal baik yang aku beritahu ke orang pada diriku sendiri, tapi yang lebih aku takutkan adalah ketika satu hal yang orang itu tak sadari dan ternyata hanya aku yang menyadari dan hanya aku yang mampu mengatakannya. Tak bermaksud menggurui padahal diri sendiri saja tak melakukannya, tapi aku selalu berujar pada diri sendiri, "bukan menggurui, tapi mengajak, ayo sama-sama kita belajar dan berubah!"




Wah,, panjang... Padahal rencana cuma curhatan dikit.


Sebelumnya saya minta maaf apabila ada yang merasa tersinggung. Dan saya sangat berterima kasih, bersyukur diberi kehidupan sampai detik ini. Terima kasih.



Sudah dulu mungkin,, bye.. ^_^)/

Senin, 17 Oktober 2016

Fukigen na Mononokean

Menonton sebuah film yang menceritakan tentang ayah tak membuatku menangis, tapi temanku yang memang sangat dekat dengan ayahnya, menangis tersedu. Sementara temanku yang lain tak ingin berhubungan dengan laki-laki karena masalah yang terjadi pada orang tuanya terutama dengan sang ayah membuatnya trauma, aku berharap bisa menemukan sosok laki-laki sebagai penanggung jawabku seperti ayah dan adikku. Lalu, Filosofi Kopi, film itu secara garis besar sepertinya hanya mampu membuat segelintir orang saja menangis. Termasuk aku. Kalian yang tahu film itu pasti bingung kenapa ada orang yang menangis melihatnya.


Seperti itulah. Setiap orang memiliki ceritanya masing-masing. Latar belakang yang berbeda-beda. Dari situlah kita bisa mendengarkan berbagai macam pendapat yang berbeda akan suatu hal. Dunia bisa dilihat dari puluhan bahkan ratusan dan jutaan sudut pandang yang berbeda. Berbeda orang yang melihat, berbeda pula yang kita dengar ketika kita meminta mereka menyampaikan apa yang ada di dalam otaknya.



Anime ini aku review bukan karena mampu membuatku menangis. Sebuah hal kecil, hal yang diketahui semua orang, pelajaran hidup yang bahkan anak kecil pun tahu. Tapi entah karena hal kecil ini sudah menjadi kebiasaan atau seperti apa, aku baru teringat akan hal kecil itu dan menyadarinya ketika menonton “Fukigen na Mononokean”





Judul : 不機嫌なモノノケ庵 (Fukigen na Mononokean)
Pengarang : Kiri Wazawa
Produser : Pierrot Plus
Episode : 13
Tayang : 28 Juni 2016 - 21 September 2016
Genre : Shonen, Comedy, Supernatural


Anime ini menceritakan tentang Ashiya, anak SMA yang memiliki kemampuan melihat siluman. Suatu hari ia tak sengaja menemukan siluman di jalan. Siluman berbulu itu kemudian melekat pada tubuhnya dan tak mau lepas. Karena itu, kondisi badan Ashiya melemas berangsur-angsur seiring semakin besarnya tubuh siluman berbulu itu. Lalu Ashiya menemui Abeno, pemilik Mononokean (berwujud ruang minum teh Jepang) untuk meminta bantuan. Terkejut dengan permintaan bayaran yang tak diberitahukan di awal, Ashiya terpaksa bekerja di Mononokean karena tak sanggup membayarnya. Dan dimulailah keseharian baru Ashiya yang mendambakan kehidupan anak SMA yang normal sebagai pekerja paruh waktu di Mononokean.

Tetapi, dengan bekerjanya ia di Mononokean, ia bertemu dengan banyak siluman yang rata-rata adalah klien Abeno. Dengan masalahnya masing-masing, Ashiya dan Abeno menolong mereka dan setelah masalah mereka di dunia manusia selesai Abeno akan membukakan pintu yang hanya bisa dibuka oleh pemilik Mononokean agar para siluman itu dapat kembali ke dunia lain.


Abeno adalah tipe karakter yang berpikir, bertindak atas dasar akal dan pengalamannya sementara Ashiya adalah karakter periang yang bertindak berdasarkan kata hatinya. Hanya dengan keberadaan dua karakter seperti itu saja kita sudah tahu akan jadi seperti apa isi ceritanya.


Sebelum masuk episode 9, hal yang aku sadari sekedar ‘Gunakan otakmu, tapi jangan lupa untuk dengarkan kata hatimu’. Sementara itu di episode 9, Abeno tak mempersoalkan sikap orang tua dari kliennya yang meragukan pekerjaan mereka, mengusir siluman, karena tak percaya dengan hal-hal tak masuk akal seperti itu serta mengatakan dengan keras agar Ashiya melakukan hal lain yang lebih bermanfaat untuk masa depannya.

Karena sikap Ashiya terhadap siluman selalu baik dan penuh kasih sayang, aku bisa ikut merasakan perasaannya yang ingin agar manusia percaya bahwa siluman itu ada. Selain itu, Ashiya selalu bekerja membantu siluman dengan sepenuh hati. Dengan kasih sayangnya terhadap siluman yang semakin hari semakin kuat.



Namun pelajaran dari anime ini yang membuatku sadar, sebenarnya adalah tentang saling berbaik hati dan menolong orang lain. Ashiya selalu berusaha semampunya untuk membantu para siluman yang sedang dalam masalah. Sehingga ketika di beberapa episode terakhir Ashiya diceritakan kehilangan kemampuannya melihat siluman untuk membantu siluman, siluman-siluman yang sebelumnya pernah di tolong Ashiya berbalik menolongnya. Mereka, dan Ashiya sendiri ingin agar kemampuannya kembali.

Ketika sadar, ingatanku memutar adegan-adegan ketika aku menolong orang lain atau ditolong orang lain. Menolong dan ditolong mungkin biasa terjadi bagi masing-masing dari kita. Atau dalam kasus ini, ketika kita dalam masalah, orang-orang yang dulu pernah kita tolong, datang pada kita untuk berbalik menolong kita. Balas budi. Terlepas dari pemikiran, “mungkin saja orang itu hanya merasa tak enak karena dulu pernah kita tolong”.


Namun satu hal yang lebih istimewa bagiku adalah ketika orang yang kita tolong, melakukan kebaikan juga untuk orang lain. Ketika kita membantu seorang anak yang terjatuh, ditempat lain anak itu menolong seorang tua untuk menyebrang jalan. Rasa kepuasan karena kita masih diberikan kesempatan untuk menebar kebaikan. Jika semua orang seperti itu indahnya dunia ini. Seperti di film-film saja ya? Terlalu berharap? Tidak. Karena aku tahu banyak orang yang seperti itu termasuk kalian. Hanya saja, kalian yang memang sudah terbiasa melakukan itu tak menyadari bahwa kalian telah melakukan hal baik untuk dunia meskipun itu kecil.




Terima kasih.
Aku harap aku bisa terus belajar dari kebaikan-kebaikan kecil yang kalian lakukan itu.
^_^





Semoga bermanfaat.




Jayalah Indonesiaku!


Salam. :)b

Lebih Kangen dari Naruto

Setelah 3 BANGSA, aku pikir aku tak akan menulis entri “serius” seperti itu lagi dalam kurun waktu cukup lama. Awalnya hanya ingin aku tulis sebagai “obrolan” santai, tapi setelah kupikir-pikir aku ingin membahasnya lebih mendalam. Yah, meskipun aku harap kalian tidak memendam ekspektasi yang terlalu tinggi.


Mungkin tulisan ini diperuntukkan untuk kalian, anak-anak 90-an yang senang menonton kartun di minggu pagi.

Kuawali dengan doa, semoga bermanfaat.





Berbicara tentang anak 90-an, meme mengenai kenangan masa kecil anak tahun 90-an sudah banyak berkeliaran di berbagai media sosial. Bahkan mungkin kalian yang bukan anak 90-an pernah melihatnya. Setiap masa memang ada kenangannya masing-masing. Kenangan baik maupun buruk. Kenangan akan permainannya, makanannya, mitos-mitos konyol, dan juga tontonan. Anak 90-an pasti bisa menyebutkan kartun-kartun apa saja yang pernah tayang di televisi pada zaman mereka.

Awalnya menonton kartun dan/atau anime sebagai ‘kartun’. Tertarik karena gambarnya, full color, cerita yang imajinatif. Begitu pula aku. Melihatnya asli sebagai hiburan anak-anak. Benar-benar melihatnya dari presfektif anak-anak. Namun beberapa diantara anak-anak itu, sampai sekarang masih menikmati ‘kartun’. Salah satunya aku, yang lebih condong ke anime (kartun Jepang). Anime memang menghilang dari layar televisi, tapi jujur, aku tak tahu “kenapa aku harus mengharapkan anime-anime itu ditayangkan lagi di televisi?”. Terlebih anak-anak sekarang tumbuh kembangnya tak dibarengi dengan pengawasan yang cerdas, berkualitas. Kekhawatiran akan dampak negatif karena anak-anak diberikan kebebasan oleh orang tuanya untuk mengakses internet pada usia yang belum tepat pasti ada, Karena anak-anak ini dianggap belum mengetahui bagaimana seharusnya sikap terhadap globalisasi atau belum cukup mengerti alasan kenapa suatu hal lebih baik tak dilakukan. Itu yang membuatku tak terlalu mempermasalahkan anime tak lagi tayang di televisi meskipun teman-teman memprotesnya. Toh, untuk menonton, menikmati anime di jaman sekarang itu mudah. Dengan televisi kabel, streaming di internet, bahkan rekaman penayangan anime di Jepang yang sudah dibubuhi subtitle Indonesia pun banyak. Aku acungi jempol untuk mereka pengelola website tempat download anime-anime ini. Bukan karena bersyukur aku jadi bisa puas mendownload anime lalu menontonnya. Aku hanya dibuat kagum oleh orang-orang itu yang dapat melakukan suatu hal yang tak bisa aku lakukan. Aku baru mengenal internet ketika duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama. Dan dimasa itupun, aku masih bisa menikmati anime di televisi. Aku belum mengenal situs-situs yang setia memberikan anime gratis semacam itu. Dan ketika menyapa mereka, “Wah, situs seperti ini sudah ada sejak kapan ya? Pengelolanya pasti penggila anime” dan lain sebagainya pun terkadang membuatku ingin bertanya-tanya pada si pendiri situs. Dan seperti biasa, aku hanya ingin mencurahkan apa yang aku pikirkan. Karena aku bukan pengamat anime, jadi aku harap kalian tak menjadikan pendapatku ini sebagai teori.

Aku penasaran, ingin tahu, bagaimana perasaan dan apa pendapat kalian-kalian yang menonton anime dari zaman Naruto, One Piece, Bleach, Detective Conan, Dragon Ball, Doraemon, Shinchan dan kawan-kawannya, sampai anime-anime baru sekarang.







Naruto, One Piece. Kalau boleh aku sebut, anime legenda. Jumlah episodenya ratusan. Seperti sinetron. Tapi dengan cerita dan keseruan berbeda tentunya. Bahkan Detective Conan, One Piece, ceritanya masih berlanjut hingga sekarang. Anime-anime seperti itu sangatlah berjaya di masanya. Sampai saat ini pun sebenarnya masih enak dinikmati. Tak kenal kata bosan. Ceritanya kompleks. Setiap episodenya pasti bagus, menarik, seru. Walau sebenarnya aku tidak melanjutkan menontonnya lagi karena sudah tertinggal jauh.


Sebenarnya entah hanya karena aku tak mengetahui step by step perkembangan anime atau karena hanya tahu mengenai seluk beluk industri anime baru-baru ini, tapi satu kata yang tak pernah aku sematkan di anime ketika aku masih sekolah dulu, kini aku mulai menyuarakannya meskipun dalam hati atau hanya lewat tulisan. “Membosankan”. Tak sepenuhnya dalam arti sesungguhnya. Maksudku, tak sepenuhnya, tak 100% dan tak berarti dari semua aspek atau semua anime. Mungkin lebih tepatnya, “industri anime”nya.



Pertama, memang pengarang yang dapat membuat cerita seperti Naruto, One Piece, pada masa itu tidak banyak. Masa sekarang pun tetap kata ‘tak mudah’ tidak boleh dilupakan dalam hal membuat cerita seperti itu. Tak mudah mencari cara penyampaian cerita yang mampu membuat cerita itu tertanam di hati penikmatnya. Cerita yang mampu membawa komiknya diadaptasi menjadi anime, dan terkenal. Karya berkualitas pun tak harus memiliki cerita komplek dan episode yang banyak. Meskipun anime berepisode banyak atau berseason banyak di masa sekarang masih ada.

Menurutku, berdasarkan apa yang aku rasakan, aku hanya orang yang sedang berada di titik kejenuhan akan suatu hal yang sudah ia tekuni dari lama. Meskipun dalam kasusku, aku tidak ‘tekun’. Ketika anak-anak dulu, mengenal film animasi dengan ceritanya yang imajinatif, adalah hal yang luar biasa. Seperti menemukan mainan baru yang beratus kali lipat jauh lebih menarik dari mainan lamanya. Karena ‘anak-anak’ sama dengan ‘imajinasi’. Di situ titik awalnya. Semakin lama, mengenal anime, menonton anime lain dengan cerita berbeda, membaca banyak komik, semakin suka. Hingga dari yang dulunya hanya seorang anak yang terbatas hanya bisa ‘diberi makan’ cerita sihir dan hal-hal tak masuk akal lainnya, sampai tumbuh menjadi anak muda, remaja, yang dapat mencerna cerita berat seperti serial detektif atau bahkan sekarang yang cara mengkonsumsinya sudah masuk ke level mereview anime dengan cerita lebih rumit, contohnya, dan mengkritisinya. Kemudian, ketika kebutuhan akan cerita yang membuat penikmat anime lebih memeras otak, tak terpenuhi, disitulah puncak kebosanannya. Kebutuhan cerita yang lebih orisinil. Atau, tak harus ide baru sebenarnya. Ambillah contoh ceritanya sama-sama menitikbesarkan pada amanat bahwa kita harus menolong orang lain, namun cara menyampaikan amanat itu dengan cara yang berbeda, yang terpenting amanat itu tersampaikan hingga melekat di hati penonton atau penikmat cerita.

Soal ini, dari sini dan seterusnya mungkin akan lebih banyak membahas tentang anime-anime sekarang. Sebelumnya, anime yang aku rekomendasi bisa dihitung jari. Kilas balik sedikit, Death Note, tak hanya aku, media Jepang, terutama, juga menuliskan bahwa anime atau cerita ini adalah cerita terbaik hingga saat ini. Sementara untuk anime sekarang, anime yang ingin aku rekomendasikan ke orang-orang selalu aku review di blog. Ya, diantaranya ada Zankyou no Terror, Hai to Gensou no Grimgar, Boku Dake ga Inai Machi, dan yang tak aku review tapi aku rekomendasikan, Ace of Diamond atau Daiya no Ace. Serta, ada satu anime di tahun ini, anime summer, yang muncul dan membuatku ingin mereviewnya ditengah-tengah suasana hatiku yang merasa bosan dengan anime-anime sekarang, Fukigen na Mononokean. Tunggu saja reviewnya, ya.

Jadi, seperti itulah. Anime yang membuatku tak menyesal menontonnya. Sementara anime yang lain? Apa yang membuatku jenuh? Bukan jenuh, hanya merasa gemas mungkin. Lebih tepatnya, aku tak mendapatkan hal yang bisa aku ambil dari anime atau cerita itu. “Amanat di setiap karya itu banyak. Tapi yang tertanam di hati penikmatnya tak selalu ada dan tak sama karena penikmat yang kisah hidup dan latar belakangnya berbeda-beda”, selalu itu yang ingin kuingat. Berbeda cara menikmati Naruto dan kawan-kawannya, kini cara pandangku terhadap dunia berubah sesuai umur. Anak-anak ingin tontonan yang seru dan berwarna, orang dewasa ingin tontonannya yang bisa menyadarkannya tentang arti hidup. Kira-kira seperti itulah aku berpikir.



Anime sekarang tak hanya diadaptasi dari anime atau game, tapi juga novel, dan project. Project ini juga salah satu yang melahirkan anime idol, katakanlah. Terutama anime-anime idol ini, yang mungkin membuatku melihat bahwa anime-anime ini menjual karakter dan lagu. Atau mungkin dari menjual karakter mereka jadi bisa menjual lagu. Intinya, bukan karena cerita. Meskipun mungkin, anime, yakni menyampaikan cerita melalui gambar dua dimensi atau tiga dimensi-lah yang menjadi nilai jualnya. Namun sama halnya dengan musik, lukisan, dan tarian. Setiap karya pasti mengandung makna. Dan ketika penggemar menyukai karya bernama anime tersebut hanya karena karakter, dari situlah banyak pertanyaan muncul di benakku.




Kedua. Aku mulai menilik anime lagi ketika sudah masuk perguruan tinggi, setelah lama tak ada tayangan kartun di televisi. Dengan situs khusus tentang anime, aku melihat lebih banyak dibandingkan hanya dengan melihat di televisi. Di sana ada komentar penikmat anime yang lain, ada ulasan, dan informasi tentang anime. Dan aku juga mendapatkan informasi lain yang berkaitan dengan karya tersebut, seperti goods atau merchandise, drama panggung, event, live action, kolaborasi dan lain sebagainya.


Untuk goods atau merchandise, hal seperti itu sudah lama memang sepertinya. Mungkin juga bisnis anime menjanjikan karena itu salah satunya. Penggemar pasti tergiur dengan kata ‘Limited Edition’ dan jurus pemasaran lainnya. Aku tak bilang salah. Uang, uang mereka, bagus kalau memang itu benar-benar uang hasil kerja keras mereka sendiri. Terserah mereka menggunakannya untuk apa, aku tak punya hak untuk melarang.


Dubber atau seiyuu dalam bahasa Jepang, menjadi topik yang sudah banyak diperbincangkan sekarang ini, tidak seperti dulu. Pengisi suara karakter-karakter dalam anime One Piece atau Naruto, yang notabene sudah berumur pun mungkin saja baru-baru ini merasakan yang namanya event meskipun kecil. Bertemu penggemar One Piece dan merasakan menjadi pemain di balik layar tetapi muncul di depan publik. Bahkan event anime Naruto tak ada rasanya. Entahlah. Tapi anime sekarang, hampir semua mengadakan event. Menjual tiketnya. Menampilkan para pengisi suara, berbincang tentang karya tersebut, bermain game atau semacamnya. Lalu setelah beberapa pekan mengeluarkan DVD dari event tersebut untuk kemudian dijual. Dari situ pulalah, beberapa dubber muda saat ini namanya naik daun.


Drama panggung. Karya itu bermacam-macam termasuk teatrikal. Tak salah, apalagi dengan pemikiran, “mengusung cerita dari sebuah karya yang sedang booming di masyarakat saat ini, mampu menaikkan pamor sebuah karya seni bernama teater atau drama panggung”. Akhirnya banyak pihak yang mencoba menampilkan cerita dari anime yang sedang terkenal keatas panggung teater. Tak buruk. Bahkan tiga diantara yang pernah aku lihat, aku akui mempunyai nilai tersendiri dimataku.


Tak seperti teater yang sepertinya baru-baru ini mengangkat cerita dari anime atau manga (komik Jepang), live action juga drama yang diangkat dari cerita anime sudah banyak yang memproduksi. Ada film ada juga drama. Ada yang mendapat respon baik, ada juga yang tidak.

Drama panggung dan live action yang didasarkan pada cerita manga adalah dua karya yang pembuatannya di bawah tekanan. Tekanan akan ekspetasi penggemar karya aslinya. Apakah para pemain dapat memainkan karakter dengan baik, baik secara fisik maupun kepribadian? Apakah dua karya ini mampu menyampaikan cerita dengan tensi yang sama seperti yang penggemar rasakan ketika menikmati karya aslinya?



Ada satu hal baru-baru ini yang ingin aku bahas sedikit. Mengungkapkan isi hati. Maaf, membuat semakin malas membaca.

Death Note, yang tadi aku sebut merupakan salah satu karya dengan cerita terbaik sampai saat ini, ceritanya telah dibawakan dengan live action, sebagai drama maupun film, juga dengan teater, lebih tepatnya drama musical. Awalnya, ketika melihat berita tentang serial dramanya aku penasaran, “Hebat juga mereka dapat mengangkat ceritanya sampai sekarang. Padahal Death Note adalah karya yang cerita komiknya telah tamat di majalah komik tahun 2006 dengan rapi”. Namun, melihat serial dramanya, menurutku tak buruk. Tapi tak bisa juga aku katakan bagus walau dengan cara mengakhiri kasusnya yang berbeda. Kemudian, di film yang saat ini sedang banyak diperbincangkan dan dinantikan peluncurannya, beberapa berita yang mengatakan bahwa L dan Light Yagami generasi pertama muncul kembali membuatku untuk kesekian kali mengerutkan kening. “Kenapa?” Film kali ini berlatarkan setelah peristiwa di cerita aslinya selesai. Dan dua tokoh yang sudah tewas bangkit kembali. Aku tahu ini anime, apapun itu bisa saja terjadi termasuk hal tak masuk akal seperti itu. Tapi aku tak bisa berbohong bahwa sangkaan terkadang muncul dibenakku. “Apakah mereka ingin menaikkan rate film ini dengan L dan Light yang kita tahu adalah dua tokoh yang paling digemari dari karya ini? Apakah tidak bisa dengan tokoh lain? Tokoh yang meskipun itu bukan L dan Light, tapi bisa membawa suasana pertarungan seru seperti L dan Light dulu. Kecerdasan pemecahan kasus, daya analisis, hal-hal yang membuat pertarungan mereka menjadi seru seperti itu bukankah ciptaan sang pengarang? Bukan L dan Light yang memiliki kepintaran itu, tapi sang pengarang, komikus, sang pembuat cerita yang membuatnya. Siapa yang akan melakukan strategi A, strategi B, pengarang yang menentukan. Pun pengarang memutuskan strategi itu akan dijalankan oleh karakter baru, selama strategi itu cerdik, dan mampu membawa suasana pertarungan menjadi panas tak masalah menurutku. Bahkan mungkin si karakter baru ini akan disukai banyak orang dan masuk di jajaran karakter favorite dari cerita Death Note bersama L dan Light. Tapi ya sudahlah, kita lihat bagaimana filmnya nanti karena ceritanya yang memang berbeda, jadi kita tidak bisa memprediksinya.



Selain live action, merchandise dan sebagainya, ada juga novel. Beberapa anime yang aku tahu misalnya, Naruto dan Death Note, mengeluarkan karya yang lain yakni novel. Dengan cerita berbeda, ada juga yang ceritanya sama hanya saja menceritakan dari sudut pandang yang berbeda. Mau dibawakan dengan cara apapun itu, meskipun ceritanya sama, namun teater adalah karya yang berbeda, bermain peran dalam film adalah karya yang berbeda, novel lagi-lagi karya yang berbeda dengan yang lain. Semoga kita tak lupa bahwa masing-masing karya tersebut mempunyai cirinya masing-masing dalam membawakan cerita yang sama. “Bagaimana dengan karya ini? Bagaimana cara karya ini membawakan cerita yang sama?”, itulah yang menjadi tantangan pekerja di masing-masing karya.




Pergantian musim di Jepang terjadi sekitar tiga bulan sekali. Dan setiap pergantian musim pasti banyak anime baru yang muncul.

Jika boleh aku katakan, aku jenuh dan bosan karena bisnis mulai terlihat ke permukaan. Sangat terasa malah. Dulu memang bukan berarti tak ada bisnis di industri anime itu, tapi sekarang “haus keuntungan”nya sangat terlihat. Semoga saja semangat menghasilkan karya yang berkualitas, cerita yang berbobot tak benar-benar hilang hanya karena mengikuti keinginan masyarakat.

Sama seperti di Indonesia, ups. Semoga saja, berita yang diangkat, dibahas media bukan berita yang diinginkan masyarakat saja, apalagi kita tahu masyarakat kita tak sedikit yang lebih menyukai berita soal orang lain yang tak ada hubungannya dengan negara, serta mudah terbawa isu juga menjadi saah satu ciri masyarakat kita. Aku berharap media di sini menjadi media yang mendidik, netral, dan benar-benar memberikan informasi yang contohnya saja bisa membuka wawasan dan pikiran masyarakat kita terhadap dunia, tentu saja fakta. Mungkin ‘NETRAL’ adalah kata yang sensitif untuk media kita saat ini.



Jadi, kembali ke penutupan. Semua yang aku tulis di blogku bukanlah sesuatu yang dapat dijadikan dasar apalagi teori. Ini hanya pendapatku yang masih belajar. Pendapat dari apa yang aku rasakan secara pribadi. Selain itu, di tambah dengan entri ini, semua reviewku mengenai anime atau sebuah karya aku rasa hanya melihat dari aspek ceritanya, karena aku tak mengerti bagaimana kriteria membuat manga, bagaimana bermain peran, berakting yang baik. Jadi, aku harap setelah membaca review ini, kalian juga akan membaca ulasan-ulasan tentang anime dari orang lain juga, agar kalian bisa memilah dan tak menelan apa yang masuk ke otak kalian mentah-mentah.



Mungkin satu kata lagi, “Aku rindu cerita orisinil,” meskipun aku sendiri tak jago membuatnya. Aku rindu ditampar. Tamparan yang menyadarkanku akan nilai hidup sekecil apapun itu.



Selamat berkarya!




Jayalah Indonesiaku!


Salam. :)b

Selasa, 11 Oktober 2016

3 BANGSA*

Aku tak tahu bagaimana harus mengungkapkannya, tapi “tidak ada maksud menghina suatu bangsa. Aku mencoba sebisa mungkin membahas ini dengan pikiran terbuka”. Kuawali dengan doa. Selamat membaca.



“Andai orang-orang negaraku, bangsaku seperti orang Amerika, pasti Indonesia bisa menjadi bangsa yang besar. Andai warga negaraku seperti orang-orang Jepang, pasti Indonesia maju. Kalau aku lahir di luar negeri, jadi warga di negara maju pasti enak”

Aku rasa tak sedikit orang yang berpikir seperti itu. Aku sendiri, karena Jepang adalah negara pertama yang aku ketahui sampai budaya atau cara hidup orang-orangnya, ketika SMA aku sering berpikir “andai aku warga negara Jepang”. Meskipun sebenarnya saat itu aku ingin menjadi warga negara Jepang karena kagum dengan komik. Bagaimana orang-orang itu bisa membuat cerita sekreatif itu? Ide cerita yang tak pernah terpikir olehku. Namun bersyukur karena teringat ketika itu aku juga berpikir bagaimana jika seseorang bertanya padaku “jika kau diberi kebebasan memilih, kau ingin jadi warga negara apa?”. “Warga negara Jepang”, kau berpikir aku akan menjawab seperti itu? Tapi sudah kuduga “Warga negara Indonesia saja, sudah cukup untukku” jawaban itu yang ingin aku keluarkan. Saat ini aku memang bersyukur menjadi warga negara Indonesia, tapi saat itu aku belum terlalu paham bagian mana yang harus aku syukuri dari terlahir sebagai orang Indonesia, jadi aku bersyukur karena entah kenapa dan entah datang dari mana, aku memiliki cinta untuk tanah airku. Dan sekarang? Aku mengerti mengapa aku bersyukur dan bangga menjadi warga negara Indonesia. Karena aku cinta Indonesia. Munafik? Kalian boleh berkata seperti itu, karena jika Dr. Zakir Naik bilang “Jika kau ingin mempelajari suatu agama, lihat agamanya, jangan lihat pengikutnya”, maka aku tak bisa bilang aku mencintai ‘warga negara’ Indonesia, untuk beberapa alasan. Aku cinta alam Indonesia yang indah. Aku cinta Indonesia yang kaya akan SDAnya. Aku cinta Nusantara. Dan, aku bersyukur aku terlahir di sebuah bangsa yang menantang. Aku bersyukur mendapat pelajaran berharga lebih dulu dibanding dengan teman-teman yang terlahir di negara yang semua serba ada, serba enak, serba aman dan nyaman. Kami memiliki kekuatan lebih ketika kami mampu menghadapi tantangan yang bangsa kami berikan ini. Jadi, bagaimana denganmu? Apa yang kau cintai dari Indonesia?





Indonesia. Sebenarnya aku tak tahu pasti, maaf, karena aku penulis yang kurang giat membaca buku, sepengetahuanku sampai saat ini, sejak zaman kerajaan, Hindu-Budha, lalu Islam, Nusantara diberi pengetahuan tentang religi, spiritual, terlebih dahulu saat bangsa lain telah terbiasa dengan ilmu pengetahuan alam dan kawan-kawannya. Itu terus berlanjut sampai zaman penjajahan, reformasi, hingga sekarang, Nusantara lebih menonjol dengan ciri khas ilmu religinya.

Agama, religi. Dalam hal ini ialah ajaran yang datang dari Sang Maha Pencipta, Tuhan Yang Satu, agama apapun itu. AjaranNya tidak hanya soal hal-hal gaib. Surga, neraka, ibadah, doa, tetapi juga tentang ilmu pengetahuan. Disampaikan oleh Dr. Zakir Naik, dalam agamaku 80% isi kitab kami logis, ilmiah, 20% belum terbukti tapi beliau berkata ketika kita tahu nanti, itu pasti logis. Jadi, itu kira-kira isi dari ilmu religi itu sendiri. Namun di Nusantara pada zaman Islam, yang lebih aku tahu, bukan sisi ilmiah atau logisnya yang disampaikan pada masyarakat kami kala itu. Para penyampai ajaran Islam bukan menyampaikan suatu kejadian nyata yang ada pada zaman ini, yang ternyata Islam sudah mengajarkannya, Nabi kami sudah mengetahuinya 1400 tahun lalu dimana belum ada mikroskop, sebagai contoh ilmu tentang bagaimana janin terbentuk. Bukan soal itu yang disampaikan. Bukan ingin membuktikan bahwa ajaran yang mereka bawa benar. Tapi, penyampai agama ini menjelaskan tentang ajaran agama yang mereka bawa itu. Apa itu? Ajaran seperti apa itu? Apa yang diajarkan? Dan sekarang pun, di zaman yang ketika aku berumur kurang dari lima tahun pun sudah mendapatkan ilmu mengenai agama, mereka juga tidak menyampaikan hal yang ilmiah yang ada dalam ajaran agama mereka. Ya, lagi pula anak umur lima tahun juga tidak akan mengerti, kecuali soal pelangi, gunung, lautan dan semacamnya. Mereka menyampaikan bahwa dalam agama yang mereka bawa tak ada kasta, semua manusia derajatnya sama di hadapan Tuhan. Agama itu mengajarkan kita untuk saling berbagi, saling tolong menolong, selalu tersenyum dan bersikap ramah, serta tak pernah marah. Menghargai perbedaan, hidup rukun, tenggang rasa, menyayangi sesama dan makhluk ciptaan Tuhan yang lainnya. Dan ajaran itu yang akhirnya menjadi dasar dari sikap ataupun watak sebagian besar warga negara Indonesia yang memang mayoritas Islam. Agama lain yang ada di sini pun demikian aku rasa.

Ramah dan suka tersenyum. Sampai saat ini menjadi jawaban yang sering aku dengar ketika seorang asing ditanya “Bagaimana orang Indonesia menurutmu?” Kami tak marah meskipun dikerjai. Kami suka tersenyum dan tertawa, meskipun komedi zaman sekarang banyak yang keluar jalur. Kami suka tolong menolong. Rasa kemanusiaan yang tinggi, mungkin. Kami senang memberi. Bahkan terkadang dikatakan ‘terlalu baik’. Seperti ketika aku masih duduk di bangku sekolah dasar, ibuku sedikit menegurku karena aku terlalu sering mengatakan ‘iya’ ketika teman meminta pertolongan sampai-sampai aku yang susah sendiri padahal sebenarnya itu bukan urusanku. Selain itu, orang Indonesia juga selalu menghargai perbedaan. Kami hidup rukun dan menyukai kesederhanaan. Lebih senang menghabiskan waktu di desa dengan tetangga sambil makan besar bersama di atas daun pisang. Kalau sedang mengobrol dengan sobat karib, terkadang bicaranya ‘tak pakai mikir’, yang justru membuat suasana menjadi hangat. Walau banyak yang akhirnya berujung pertikaian. Dan macam-macam orang yang wataknya tak seperti yang aku tulis tadi. Soal mereka kita abaikan saja dulu. Kita bahas yang dominan. Ya, itulah yang muncul di benak ketika kata ‘Nusantara’ disebut. Tak hanya Indonesia, Malaysia dan negara-negara tetangga mungkin juga seperti itu, karena aku tak pernah mengunjungi mereka. Orang Asia Tenggara, katanya.


Itu Indonesia. Bagaimana dengan bangsa lain? Jepang misalnya. Apa yang kalian pikirkan ketika mendengar kata ‘orang Jepang’?

Disiplin, selalu on time, menjaga peraturan, bersih. Tidak salah. Melihat bagaimana proses pendidikan di tingkat sekolah dasar berlangsung, memang itulah yang menjadikan karakter orang Jepang tumbuh seperti sekarang. Mereka selalu menjaga kebersihan bahkan di masa sekarang, yang tempat sampah di tempat umumnya dikurangi karena waspada dengan ancaman terror bom yang seringkali meletakkan bom di tempat sampah, mereka tak lantas membuang sampah sembarangan. Mereka akan menyimpannya di kantong kertas yang selalu mereka bawa atau di tas untuk selanjutnya dibuang setelah mereka sampai di rumah nanti. Mereka selalu tepat waktu, datang maksimal 15 menit sebelum waktunya. Selalu mematuhi peraturan, menepati janji, dan memiliki etos kerja yang luar biasa. Pendidikan usia dini di Jepang berhasil menjadikan warga negaranya tumbuh menjadi warga negara yang mudah diatur sehingga semua elemen masyarakat mampu mengantarkan Jepang menjadi bangsa besar seperti sekarang.


Bangsa ketiga adalah Amerika dan orang-orang Eropa, atau kita sebut saja bangsa barat. Beberapa kali pernah aku singgung tentang cara hidup bangsa barat di beberapa entriku sebelumnya. “Kopi Sumatera di Amerika” contohnya. Aku rasa kita semua tahu bahwa bangsa barat tumbuh menjadi manusia yang kritis dan berpikir. Mereka tak hanya hidup sekedar hidup mengikuti air yang mengalir. Sekalipun mereka punya agama yang biasa kita sebut pedoman hidup, mereka tak enggan untuk selalu mempelajari dan mencari kebenaran dari agama yang mereka anut itu. Maaf, sebenarnya aku tak terlalu tahu soal bangsa barat dari sisi religinya, namun dari sebuah video yang aku lihat di youtube, aku mempelajari mereka tak terlalu membaca kitab mereka. Orang video itu bilang, jemaat juga diberi tahu untuk tak banyak bertanya. Lebih tepatnya mungkin kalian bisa cek di youtube. Tapi terlepas dari itu, pendidikan usia dini di barat memang bagus. Ketika kita sering mendengar orang tua yang selalu menasihati anaknya, selalu memaksa anaknya untuk mendengarkan perkataan mereka walau sebenarnya itu untuk kebaikan sang anak, sementara mereka sendiri tak pernah mendengarkan curahan hati anaknya, orang dewasa di negara barat selalu membuka lebar telinga mereka untuk mendengarkan cerita anak kecil. Mereka selalu bertanya pada anak-anak, anak siapapun itu. Mereka tak memarahi anak mereka, karena anak mereka dengan kesal protes kalau ‘sang ayah selalu bekerja, tidak pernah ada waktu untuk bermain bersama putri kecilnya’, dengan berkata “ayah bekerja untukmu! Kau anak kecil tak akan mengerti!” Sekalipun mereka marah, mereka akan minta maaf kemudian. Orang dewasa disana selalu mendengarkan apa pendapat anak-anak. Mereka selalu menanyakan pendapat anak-anak meskipun itu mengenai urusan orang dewasa. Ya, setidaknya mereka menjawab ketika sang anak bertanya ‘ada apa?’ Mereka menghargai anak-anak. Mereka memperlakukan anak-anak bak raja. Mereka menempatkan anak-anak setara dengan orang dewasa jika sudah berbicara mengenai pendapat, baik dalam hal bertanya ataupun menyampaikan. Itulah yang aku pikir menjadi sebab mengapa anak-anak bangsa barat tumbuh menjadi orang yang kritis dan berpikir. Mereka benar-benar berpikir akan nilai, kualitas dan kebermanfaatan hidup mereka. Mereka selalu mencari kebenaran yang masuk akal. Mereka berpikir bagaimana seharusnya mereka hidup. Tujuan hidup, itu salah satu yang mereka cari dari pedoman hidup yang selama ini mereka pegang sekarang.


3 poin yang, Alhamdulillah, baik dari 3 bangsa. Indonesia dengan religinya, Jepang dengan attitude, karakternya, dan Amerika, bangsa barat, dengan akalnya. Bagaimana jika ketiga sisi itu ditukar?

Ya, maksudku seperti, pertama, bangsa Indonesia. Kita semua tahu kita rajanya ‘jam karet’. Soal attitude seperti bangsa Jepang, untuk mayoritas, bisa kukatakan nol besar. Apa lagi semenjak aku mulai menjalani kehidupanku di kota besar seperti ini. Individualisme, sampah di mana-mana, tak ada toleransi terhadap orang lain. Sementara untuk budaya pemikir, aku tak terlalu mengerti, tapi yang pasti tak sedikit orang kita yang kritis, bukan? Kalau tak ada yang kritis semua hanya akan jadi mainan pemilik kekuasaan yang dibutakan nafsu. Namun banyak juga orang yang hidup sekedar hidup. Sama sekali tak mengerti apa makna dan kebermanfaatan hidup mereka selama ini sampai mereka akhirnya menyapa liang kubur.


Kedua, Jepang. Mereka memiliki ilmu religi, tapi sejauh yang aku amati sampai sekarang, mereka seperti hanya mendapat pelajar bahwa ada Sang Pencipta dan ada makhluk gaib seperti roh atau arwah dan hantu. Namun dengan berjalannya waktu, karakter mereka yang disiplin, on time, serba terjadwal dan semacamnya itu sedikit banyak mulai mendominasi sampai ke hati mereka, jika aku lihat. Karena dalam pemberitaan di sini pun, sekarang Shinto, agama asli Jepang, sudah tak dianggap sebagai agama, namun gaya, pandangan atau cara hidup. Dari sebelum-sebelumnya juga sudah terlihat sebenarnya. Orang Jepang sudah lebih banyak yang Atheis. Mereka lahir beragama Shinto, hidup sebagai orang Kristen dan mati dengan cara Budha. Mereka pergi ke kuil namun mereka juga merayakan hari raya Natal. Ketika ditanya apakah mereka butuh agama, hampir setengah dari orang Jepang yang temanku wawancarai menjawab tak terlalu butuh. Mungkin sebenarnya mereka yang percaya ada Tuhan. Percaya bahwa terkadang suatu hal aneh datang karena ada roh-roh nenek moyang yang minta didoakan sehingga sampai saat ini pun orang-orang di kota kecil dan di desa masih mengadakan festival atau semacam ritual untuk mendoakan arwah leluhur. Namun, agama sebagai pedoman hidup, menganggapnya sebagai kebutuhan, kebutuhan yang sampai seperti yang bangsa kita lakukan yaitu sesuatu yang mempengaruhi sebagian besar cara hidup kita, aku tak merasa bisa mengatakannya sampai situ. Cara hidup yang mereka anut, ialah cara hidup yang alasannya masuk di akal. Mereka tahu, paham, mengapa mereka harus disiplin. Mereka menjalani hidup dengan cara hidup yang ada kaitannya dengan hubungan antar manusia. Selama mereka aman, nyaman, mereka tak butuh agama. Maaf jika seperti judgement, itu hanya pendapatku, opini dari apa yang selama ini aku lihat.

Sekarang, apa bedanya hidup logis mereka, ‘pemikir’ bangsa Jepang dengan barat?

Mengenai hal ini, jujur, aku rehat menulis, 2, 3 hari aku butuhkan untuk berpikir lagi. Bukan berpikir mencari perbedaannya. Tapi justru selama 2, 3 hari itu aku semakin tak mengerti apa yang harus aku tulis. Aku semakin tak mengerti dimana titik perbedaannya. Apakah benar berbeda? Jika sama kenapa mereka tumbuh menjadi dua bangsa yang berbeda di mataku? Dan ketika aku mulai menulis lagi karena aku rasa aku telah menemukan jawabannya, aku bingung bagaimana harus mengungkapkannya dengan benar. Ya, memang. Terkadang banyak sekali alasan mengapa kita tak mengungkapkan isi hati dan pikiran kita. Ketika di dalam sebuah rapat kita terpikirkan suatu ide atau pertanyaan, ujung-ujungnya kita tak jadi mengutarakannya karena berbagai alasan. “Apa jika aku bertanya aku tak akan ditertawakan karena pertanyaanku bodoh?”, “Apa pendapatku ini benar? Atau justru aku malah akan diserang balik karena tak tahu duduk perkaranya?” Suara-suara hebat, yang mungkin saja suatu hari nanti mampu mengubah dunia, terkadang terpendam, hilang tak berbekas, tak pernah keluar satu kalipun dari mulut sang empunya hingga sang empunya meninggal. Dan itu bukan hanya karena faktor dalam dirinya, tetapi juga ada faktor lingkungan yang tanpa disadari hanya berkata, jika tidak “benar”, ya “salah”. Tanpa pernah sekalipun ia berusaha mengerti tentang proses belajar sang pengutara pendapat ini, lingkungan langsung men-judge suara itu.

Maaf, jika tulisanku membuat kalian pusing tak mengerti dengan arah pembahasan karena tiba-tiba membahas itu. Karena, bohong, jika aku bilang aku menulis ini bukan karena ingin dimengerti, bukan karena ingin agar kalian tak langsung mencap sesuatu padaku ketika aku mengungkapkan pendapatku setelah ini meskipun aku berusaha membuatnya ‘halus’. Bukan sesuatu yang berarti, hanya saja aku sedikit merasa berat hati untuk menulis sesuatu tentang satu bangsa dari sudut pandang orang awam sepertiku yang notabene tak tahu benar mengenai mereka. Oleh karena itu, senang rasanya kalau kalian bersedia mengoreksi dasar dari opini seorang pembelajar sepertiku ini.


Kembali ke topik, beberapa orang yang aku lihat, aku temui, dan aku dengar pendapatnya, membuatku merasa bangsa Jepang masih terpengaruh dengan masa lalu mereka yakni sebelum restorasi Meiji. Jepang menutup diri terhadap bangsa barat. Pada dasarnya mereka sama dengan bangsa kita. Diawal, mereka sama-sama membiarkan cinta tumbuh dalam hati sama seperti kita. Cinta terhadap tanah air dan cinta dengan pandangan hidup, ajaran, agama yang berkembang di tanah air, yang didapat dari nenek moyang. Namun setelahnya apa yang terjadi di Jepang dan di Indonesia sangatlah berbeda. Sistem pendidikan dasar yang diberlakukan di Jepang mampu menjadikan negara itu maju dengan salah satunya teknologi canggih yang kini mempengaruhi banyak bangsa terutama negara berkembang. Guruku di Negri Sakura sana sangat membanggakan ilmu pengetahuan yang dimiliki bangsanya sekarang. Robot berbentuk manusia yang mungkin akan benar-benar digunakan suatu hari nanti di seluruh dunia. Bakteri dalam daging babi yang telah hilang dengan teknologi mereka sehingga daging babi bisa dikonsumsi dengan aman, kata guruku itu. Selain itu, Jepang adalah negara yang bersih dan peringkat 8 dari 10 negara paling aman di dunia. Siapa juga yang tak betah tinggal disana? Salah satu personality radio yang aku dengar setiap hari Jumat pun bilang bahwa ia tak ingin pergi ke luar negeri. Amerika misalnya, tak seperti Jepang dimana kepemilikan senjata api harus dengan ijin, kita tak tahu siapa saja yang memiliki senjata api di Amerika sana. “Rasanya seperti aku bisa saja terbunuh kapan saja”, katanya. Dia tak ingin keluar negeri karena selain di negaranya sendiri pun masih banyak tempat yang belum dikunjungi, baginya Jepang adalah negara paling aman, damai.

Tertutup. Tak terbuka. Hal itulah yang diwariskan sejarah hingga, aku rasa, sampai saat ini kepada orang Jepang. Aku tahu tak semua orang. Orang Indonesia yang selalu ramah juga tak semua. Hanya menyayangkannya. Karena, dengan “mengurung diri dirumah” itulah, mereka tak memperoleh ilmu pengetahuan yang tak ada dirumah mereka. Salah satunya ilmu religi, ajaran, pandangan, filsafat hidup. Ada banyak agama, pandangan dan ajaran hidup di dunia ini. Ada banyak tokoh pemikir filsafat hidup di dunia ini. Orang Jepang tak tahu bagaimana kita, orang Indonesia, memuliakan sebuah pernikahan, sementara banyak dari mereka tak menikah karena berbagai alasan. Karier, memang tak ingin menikah karena merepotkan, dan lain-lain. Toh, kebutuhan seperti cinta dan seks bisa mereka dapatkan tanpa harus menikah dan memiliki anak. Hingga akhirnya membuat piramida kependudukan mereka terbalik.

Anime. Salah satu hal dari Jepang yang memang aku lebih banyak mendengar tentang itu dibandingkan hal lain. Pemilik rumah produksi menantikan ketika sebuah anime yang mereka rilis diminati banyak orang di Jepang sana. Penggemar itulah yang menjadi pasar mereka ketika baru 4, 5 minggu sebuah anime rilis mereka sudah mengeluarkan banyak merchandise untuk dijual secara terbatas. Semakin berkembang bisnis itu sekarang, hingga ada saja barang-barang aneh yang bangsa itu ciptakan, namun semata untuk memuaskan kecintaan mereka terhadap karya itu, dan bagi pengembang, ya, seperti yang kalian tahu, disamping karakter mereka yang memang hanya akan membeli barang original buatan dalam negeri sebagai ungkapan bahwa mereka menghargai si pembuat cerita karya aslinya.
Kecintaan itu, yang menurutku, meskipun bangsa Jepang juga memiliki ‘unsur’ pemikir seperti bangsa barat, selama mereka bisa hidup nyaman, aman, karena memang seperti itulah negri mereka sekarang, mereka tak perlu mencari lagi yang lain. Mereka sekarang hanya ‘tinggal’ fokus pada karier, kehidupan ‘dunia’ mereka. Perihal mereka juga tahu ada surga dan neraka, dimana tempat mereka akan pergi setelah mati, dan ‘mungkin’ mereka yakin akan tinggal di surga, serta atas dasar apa, jaminan apa yang mereka punya sehingga bisa dengan santai hidup di dunia tanpa terpikir ‘mungkin nerakalah yang akan jadi tujuan akhir hidup mereka’, aku tak tahu. Mungkin suatu saat kita bisa tanyakan pada mereka.

Kecintaan yang dimiliki bangsa kita juga sebenarnya sama. Atau justru lebih parah. Karena kami hanya menuliskan itu sebagai agama kami di KTP tanpa benar-benar memikirkan ajaran itu, mengaplikasian apa yang ajaran itu ajarankan pada kami di kehidupan kami. Sehingga, ya, seperti ini sajalah terus, Indonesia. Tapi, semoga kita selalu dalam lindunganNya.

Jadi begitulah. Setinggi apapun puncak yang telah kita daki, semaju apapun bangsa kita, diluar sana bangsa lain, telah menjalani hidup dengan, mungkin, pandangan hidup yang lebih ideal, lebih logis, lebih manusiawi dari yang kita anut. Dari pandangan hidup yang kita tahu selama ini. Dari pandangan hidup yang selama ini kita genggam hanya karena itu warisan orang tua, bawaan nenek moyang. Jadi, jangan menyerah mencari kebenaran.


Itu tadi, Indonesia dan Jepang. Sekarang giliran bangsa barat. Bagaimana pendapat kalian mengenai bangsa barat dilihat dari sisi lain selain ‘pemikir’?

Aku melihatnya sebagai bangsa yang memiliki beberapa budaya yang sama seperti Jepang. Minum-minuman keras, seks bebas, dan beberapa pekan lalu media memberitakan demonstrasi yang dilakukan di New York, kalau aku tak salah ingat, oleh sekelompok wanita dimana mereka menuntut agar kaum wanita diberi hak atau kebebasan untuk bertelanjang dada seperti kaum pria, karena mereka menganggap itu juga salah satu bukti kesetaraan gender. Sebenarnya jika ditarik kesimpulan tak ada yang perlu aku ‘komentari’ mengenai bangsa barat. Kenapa? Karena berbeda dengan Jepang, mereka adalah bangsa yang terbuka. Pemikiran mereka terbuka. Mereka mengetahui semua ilmu yang ada di dunia ini. Mereka mampu dengan mudah mendapatkan ilmu bahkan dari luar bumi sekalipun. Dan selama itu logis, masuk akal, sesuai dengan ilmu pengetahuan atau kebenaran yang selama ini telah diketahui, mereka bisa saja mengakui ilmu itu sehingga ‘kebenaran’ dengan mudah datang dan merangkul sebagian dari mereka. Hanya saja, tak sedikit juga orang barat yang tak mendapat kesempatan keluar rumah. Bukan tak ingin, tak ada kesempatan untuk melihat langsung apa yang ada di luar rumah mereka. Tak sedikit juga yang tak terpikir bahwa diluar sana ada hal ‘aneh’ yang patut untuk mereka coba ‘pikirkan’. Yang sedang mencari kebenaran, yang telah mendapat kebenarannya memang sedikit. Namun karena mereka memutuskan mengambil jalan yang memang benar, hidup mereka juga akan benar, di dunia ataupun nanti setelah mereka mati. Karena mereka paham mengapa mereka mengambil jalan itu, sangat mengerti mengapa jalan ini ‘benar’, mereka tak akan mudah terhanyut dengan yang lain. Mereka akan mencintai jalan itu. Cinta yang sesungguhnya. Cinta yang abadi, karena mereka tahu mengapa mereka bisa mencintai jalan itu. Dengan melangkah di jalan yang benar, menjalani hidup dengan cara yang benar, kebaikan dan kualitas hidup, hasil yang baik akan mengikuti. Sedikit demi sedikit, namun jika semua orang barat itu mampu mendapatkan kebaikan hidup, hasil yang baik itu, Amerika yang sekarang sudah menjadi negara adidaya akan menjadi sebesar apalagi di masa depan nanti?

Kalau Indonesia, maaf, aku sedikit bersyukur Indonesia adalah negara yang ‘terpuruk'. Bercanda. Tapi, sungguh, dengan kondisi kami sekarang, negara berkembang, kami mau tak mau pasti melihat ke atas. Kami menyadari benar kondisi kami, yang masih jauh dari kata ‘enak’. Kami tahu benar bahwa banyak negara yang lebih maju di luar sana. Dan yang terpenting, aku bersyukur karena ‘kesadaran’ akan kondisi itu diketahui, menyebar di hampir seluruh elemen masyarakat. Hanya saja, kami tahu kondisi kami, tapi tak ada usaha nyata dari masing-masing individu warga negara Indonesia untuk mengubahnya. Sedih. Orang Indonesia hanya menerima ilmu religi tanpa kemudian mempelajarinya dengan sungguh-sungguh. “Pasrah, sudah takdir. Rezeki setiap orang, takdir setiap bangsa sudah ada yang mengatur”. Lupa kalau ajaran yang kita anut juga mengajarkan kita untuk berusaha, bekerja keras. “Hidup diri sendiri saja belum bener, mau mikirin negara?” katanya. Setelah tahu ada anak tukang becak, petani, bisa lulus S1 cumlaude di universitas terkemuka di Indonesia dan melanjutkan studi S2 di luar negeri dengan beasiswa penuh, masih akan mengatakan hal seperti itu? Setiap individu memiliki potensinya masing-masing. Dibidang apapun itu, dan tak harus menjadi lulusan terbaik di perguruan tinggi ternama. Mungkin saja kau yang sedang duduk membaca entri ini adalah salah satu yang akan mengubah dunia. Kata temanku, mimpi jangan setengah-setengah. Daripada mengubah Indonesia mengapa tidak mengubah dunia saja sekalian. Dunia belum damai, bung. Masih banyak saudara kita yang kelaparan, kekurangan air, dan menjadi korban kejahatan kemanusiaan. Jadi, jangan diam! Bergerak! Bangun! Pergi sana, cari ilmu! Cari kebenaran dimulai dari apa yang sedang kau anut, kau tekuni terlebih dahulu. Gali passionmu! Tak usah berat dipikir. Sedikit demi sedikit. Yang penting dilalui dengan cara yang benar. Hasil akan mengikuti.

Dan sekali lagi semoga kita tak ‘hidup sekedar hidup’. Bekerja lalu menerima gaji. Hanya itu. Lakukanlah sesuatu. Buatlah sesuatu. Sesuatu yang ‘belum’ dilakukan orang lain. Bukan yang ‘tak’ dilakukan orang lain ya. Mencuri mangga tetangga juga tak dilakukan orang lain. Hal baik yang ‘belum’ dilakukan orang lain. Semua orang melakukan hal baik. Namun yang pertama yang melakukannya, dia lah yang dikenal, dikenang oleh orang-orang. Ketika dikantor kalian melakukan suatu hal baik, menjadi kebiasaan, orang-orang melihatnya dan kemudian mengikutinya, menjadi kebiasaan baik dikantor, memberikan dampak yang baik untuk perusahaan, semua orang akan mengenalmu termasuk atasan. Atau pikirkan dirimu sendiri saja. Kau dan aku ingin yang terbaik untuk hidup kita masing-masing, maka lakukanlah yang terbaik, capailah yang tertinggi meskipun itu dalam hal kecil sekalipun. Ketulusan hati menuju kebaikan dan kerja keras tak akan mengkhianati. Dimulai dari diri sendiri pun tanpa sadar itu adalah kebermanfaatan untuk lingkungan sekitar kita. Barulah kita memikirkan kebermanfaatan hidup kita untuk lingkup yang lebih luas.





Setiap orang memiliki kelebihan dan kekurangan. Setiap bangsa memiliki karakteristiknya masing-masing. Kekuatan dan kelemahannya masing-masing. Sekarang, apa yang akan kau lakukan untuk menghilangkan kekurangan dan kelemahan negatif yang ada dalam dirimu?


Mari saling berbagi, saling mendoakan. Kau dan aku untuk hidup yang lebih bermanfaat.






Jayalah Indonesiaku!

Salam. :)