Blogger Widgets

Jumat, 19 Agustus 2016

Dedikasi Masa Muda

Menonton anime (kartun Jepang) adalah salah satu hobiku. Aku mengenal kartun dari SD walau tak tahu pasti ketika aku duduk di bangku kelas berapa. Aku yakin anak-anak 1990-an pasti sama sepertiku. Doraemon, Chibi Maruko-chan, P-Man, Ninja Hattori, Dragon Ball, Detective Conan, dan masih banyak lagi. Mungkin yang mengalami zaman itu merasa rindu dengan suasana minggu pagi kalian kala itu.

Sampai saat ini aku masih jadi penikmat anime dan sudah lumayan banyak anime yang kutonton. Tapi aku yakin ada yang hafal judul anime lebih banyak dariku. Meskipun penggemar, tak semua anime aku tonton. Genre yang aku ikuti hanya sport, action, terkadang sci of life, comedy, walau sangat sedikit. Hampir semuanya anime shounen (untuk anak laki-laki). Dan genre yang sering sekali membuatku muak dan kecewa (maaf berlebihan) adalah romance. Akhirnya aku berusaha menghindari jenis cerita yang satu itu. Memang pada dasarnya aku tak menyukai topik percintaan. Sejak masih sekolah aku tak pernah menikmati perbincangan dengan teman-teman jika topiknya itu. Jadi anime-anime seperti Ace of Diamond, Death Note, Naruto, Haikyuu, Zankyou no Terror, Arslan Senki, Code Geass, Tokyo Ghoul, Bungou Stray Dogs-lah yang aku tonton.

Menghadirkan cerita bergenre yang paling aku sukai yakni sport, Ace of Diamond, terutama, kembali membuatku memikirkan hal-hal yang selama ini aku pikirkan jika sedang menonton anime sport. Sesuai dengan judul entri ini, yang juga aku dapat setelah menonton Haruchika, salah satu anime yang menarik perhatianku, aku sering kali memikirkan tentang dedikasi masa muda.

Tak perlu jauh-jauh, masa SMAku aku habiskan tak hanya untuk mendengarkan penjelasan guru di dalam kelas, tapi aku juga mengikuti ekstrakulikuler olahraga. Dari situlah, aku dapat merasakan atau istilah kerennya, menghayati dan ikut mendalami cerita anime-anime sport yang aku tonton. Dari anime Yowamushi Pedal, aku teringat bagaimana awal-awal aku dan teman-teman kelas satu, yang merupakan anggota baru, memulai aktifitas di eskul itu. Awalnya memang hanya perkenalan, namun minggu-minggu berikutnya otot kami mulai dilatih. Kami menjalani latihan fisik yang memang sangat berat. Porsinya berkali-kali lipat dari biasanya. Ketika puncak kelelahan pun, aku seperti tak bisa lagi menggunakan otakku untuk berpikir walau sebenarnya masih bisa berteriak dalam hati, “Cukup! Aku butuh istirahat! Nafasku habis! Kakiku pegal! Tak sanggup bergerak lagi! Aku tak mau latihan seperti ini! Kakak senior iblis! Mereka mau membunuhku! Besok aku bolos! Titik!” Latihan selesai dan sampai rumah otot diseluruh tubuh mengencang. Badan pegal dan letih yang luar biasa. Keesokan paginya di sekolah pun, aku bertemu dengan anak kelas satu yang lain. Merekapun sama denganku. Badan mereka pegal. Jika kau menyentuh bagian tertentu, hanya menyentuh, itu akan menjadi kesakitan luar biasa untuk kami. Tapi kau tahu, ketika jam istirahat kami pergi ke kantin, ada suara yang sebelum-sebelumnya tak pernah memanggilku. Itu suara senior kami. Aku tak hanya berteman dengan anak kelas satu dari kelas lain. Keseruanku disekolah juga karena kakak-kakak kelas yang kami kenal di eskul. Itu yang membuatku tetap datang latihan keesokkan harinya, esoknya lagi, esoknya lagi, dan hari-hari setelahnya.

Olahraga dalam budaya kita memang tidak identik dengan laki-laki saja. Anak perempuan yang menjadi atlet pun banyak. Tapi ketika melihat anime Ace of Diamond, aku mulai memikirkan dalam tentang ‘ambisi’. Aku tak tahu benar, tapi aku berpikir itu juga salah satu perbedaan laki-laki dan perempuan. Atau aku hanya terbawa anime itu saja? Entahlah. Tapi aku rasa ambisi laki-laki memang lebih besar dari perempuan. Contohnya saja, jika seorang suami gagal dalam pekerjaannya kemungkinan ia marah-marah tak jelas ketika sampai di rumah pun ada. Jadi para istri selalu memaklumi kalau suami mereka terlalu mencurahkan perhatiannya pada pekerjaan. Itu yang aku tahu. Anime Ace of Diamond menjadi salah satu anime yang sukses di negara asalnya. Cerita dibawakan dengan sangat menarik, dan seperti anime action, anime sport juga sangat seru. Dari situ aku mulai paham tentang ambisi laki-laki. Kalau ambisiku misalnya, aku selalu menjadikan temanku sebagai rival tanpa sepengetahuan mereka. Rival dalam pelajaran maupun olahraga. Tapi aku rasa itu tak sekuat laki-laki yang berjuang untuk melampaui rival mereka. Ambisi ingin menang itu yang membuat para tokoh bisa mati-matian berlatih. Semangat para tokoh yang notabene laki-laki itulah yang tak bisa kutiru. Dari situlah aku merasa bahwa ambisi mereka akan tugas, tanggung jawab, sesuatu yang memang sudah wajar mereka kerjakan itu berbeda dengan anak perempuan. Ketika anak laki-laki berambisi akan sesuatu, bisa saja ia mengabaikan hal-hal berbau perasaan yang mengganggu kerja kerasnya. Berbeda dengan anak perempuan yang masih menggunakan perasaan. Ya, mungkin tak semua anak laki-laki seperti itu, tapi itulah yang aku suka dari kaum adam. Berambisi dan tak lemah.

Tak hanya Ace of Diamond, anime Haikyuu dan anime sport lain juga mengingatkan aku ketika aku berlinang air mata karena kalah di pertandingan. Aku bisa merasakan kesedihan karakter-karakter di anime itu ketika mereka kalah. Sakit. “Kenapa mereka yang menang? Kenapa bukan kami? Kenapa kami kalah? Aku tak mau kalah! Aku ingin menang! Aku ingin menang! Aku ingin bertanding sekali lagi! Kali ini pasti aku yang akan menang! Aku ingin menang!!” atau semacamnya. Suara hati yang tak bisa dicegah untuk keluar. Bukan karena apa-apa. Bukan karena kecewa, merasa latihan neraka yang sudah dijalani tak membuahkan hasil. Bukan juga karena ingin membuktikan pada orang tua atau teman-teman. Ingin menang. Hanya karena ingin menang. Siapa sih, yang tak mau menang? Kalau kata Hinata dan Kageyama, tokoh utama dalam anime Haikyuu. Tak ada alasan kenapa ingin menang. Hanya tak mau kalah saja. “Memangnya ada alasan untuk makan ketika kau lapar?” kata dua karakter yang kebodohannya berhasil mencapai tingkat jenius itu. Ya, meskipun dulu aku juga terkadang menangis walaupun sekolah kami sudah dinyatakan sebagai juara umum.

Tapi kisah di anime, atau mungkin di Jepang, kalau kenyatanya memang seperti yang diceritakan di anime, berbeda dengan di sekolahku dulu dan mungkin juga di sekolah lain di Indonesia. Kegiatan ekstakulikuler olahraga tingkat SMA di Jepang bisa memenuhi kalender dalam setahun dengan latihan. Maksudku porsi latihan mereka lebih banyak. Mereka latihan hampir setiap hari sementara eskulku dulu hanya 2 kali seminggu jika tidak dalam masa persiapan pertandingan. Meskipun jika sudah datang masa pertandingan dan tepat ketika libur sekolah, latihan bisa 10-14 kali dalam seminggu. Selain itu, di Jepang sering sekali diadakan latih tanding dengan sekolah lain. Pun tidak dengan sekolah lain, frekuensi latih tanding eskul SMA di Jepang masih lebih banyak dengan yang pernah kualami. Aku pikir berlatih teknik dengan langsung mempraktikannya dalam latih tanding lebih efektif untuk anak SMA. Libur musim panas di Jepang pun terkenal dengan camp latihan untuk klub-klub ekstrakulikuler olahraga di sekolah menengah di Jepang. Mereka, dengan sekolah lain, menginap dan melakukan latihan bersama dan pastilah menjadi kesempatan baik pula untuk melakukan latih tanding dengan sekolah lain. Aku merasakan bagaimana rasanya menginap di asrama sekolah dengan teman-teman, tetapi itu ketika sedang mengikuti pertandingan agar para senior dan pelatih dapat mengontrol atlet. Sementara ketika libur sekolah kami tetap berlatih seperti biasa.

Belum lagi tokoh utama bodoh adalah hal yang biasa ada dalam beberapa anime sport. Seperti Hinata, Kageyama, Tanaka, dan Noya dalam anime Haikyuu misalnya. Mereka berjuang keras belajar demi menghadapi Ujian Tengah Semester yang berakhir dengan Hinata dan Kageyama harus mengikuti ujian perbaikan sehingga terlambat pergi ke camp pelatihan di Tokyo. Mereka berjuang bahkan sering kali menambah porsi latihan mereka sendiri padahal bisa saja mereka menggunakan waktu itu untuk belajar. Dari situ aku teringat salah satu dosaku. Aku bersyukur selama sekolah aku tak pernah mengalami kendala yang berarti dalam pelajaran kecuali kemalasan dalam menghafal. Diluar itu tak masalah. Bahkan otakku lebih cepat menangkap dan memahami pelajaran diatas yang lain. Sehingga aku tak perlu terlalu banyak menghabiskan waktu belajar untuk setara dengan teman-teman. Tapi di lain pihak seharusnya aku bisa lebih menghabiskan waktu itu untuk berlatih. Entah aku enggan untuk berlatih sendiri atau istilah ‘latihan mandiri’ di sekolah kita tak seterkenal di Jepang, aku menyesal tak bisa memanfaatkan waktu yang ada untuk berlatih padahal aku tak perlu terlalu khawatir dengan akademikku.

Satu lagi dari anime Ace of Diamond, salah satu karakter pendamping yang tak terlalu berbaur dengan teman-temannya di kelas, menyadarkanku kalau memang ada anak seperti itu. Aku salah satunya meskipun aku tak mencapai level seperti karakter itu. Bukan anak yang mencolok di kelas. Aku pun hanya sesekali berbaur dengan teman-teman, berbincang dan bercanda. Bahkan bisa kukatakan jika aku tak punya teman sebangku mungkin aku hanya akan menyapa teman sekelas ketika ada perlu seperti membicarakan pelajaran beserta tugas dan PRnya. Atau terkadang teman-teman mendekatiku hanya untuk mencontek Pekerjaan Rumah. Hingga akhirnya anak-anak kelas mengenal anak seperti itu sebagai anak pendiam dan penyendiri. Di balik itu, tanpa mereka tahu pribadinya bisa sangat, sangat berbeda ketika ia melakukan aktifitas ekstrakulikulernya. Ketika teman-teman kelasnya datang untuk melihat pertandingan sekolah mereka, mereka akan melihat orang yang sama namun bukan si anak pendiam dan penyendiri, seperti yang mereka kenal di kelas, ketika anak itu turun bertanding. Kalian pasti paham. Seperti, anak itu telah menemukan tempatnya. Meskipun bukan di kelas, meskipun bukan teman-teman sekelasnya, tapi ekstrakulikuler yang ia ikuti beserta anggota dan para pembimbing bisa membuat anak itu terlihat hidup. Bahkan terkadang aku berpikir, anak pendiam di kelas bisa menjadi salah satu pilar kelas karena pribadinya yang mulai terbuka dan supel. Pribadi itu mungkin saja ia dapatkan tak lain dan tak bukan adalah dari aktifitas ekstrakulikulernya.



Semua anime sport itulah yang menyimpulkan semua pemikiranku tentang masa-masa SMA selama ini hingga akhirnya menemukan judul yang pas karena opening song anime Haruchika. Aku bersyukur, aku melalui masa-masa mudaku dengan kegiatan yang bermanfaat. Atau bahkan bisa kubilang kegiatan yang bisa membuatku mengabaikan hal yang lain. Aku benar-benar menikmati masa-masa itu. Rasanya sampai sekarang pun aku masih ingin terus berdiri di atas matras untuk bertanding.

Ada alasan lain tentunya kenapa aku menulis entri ini. Biasanya dihari-hari awal sekolah di SMA, ekstrakulikuler menjadi topik yang banyak diperbincangkan anak-anak kelas satu. Aku yakin beberapa diantara kalian pernah mendengar salah satu anak mengatakan “Tidak ikut eskul apapun. Melelahkan. Merepotkan”. Bertambah besar rasa syukurku aku bukanlah anak yang memiliki pemikiran seperti itu. Atau ketika teman sebangkuku tahu eskul apa yang aku ikuti, dia berkomentar “Kenapa si, kau mau saja merusak badanmu seperti itu? Memangnya tidak sakit?” Walau sebenarnya ia juga anak eskul voli, olahraga yang ketika aku mulai mempelajarinya di SMP aku pesimis apakah tanganku tak akan patah? Aku kan kurus. Hello, tak ada olahraga yang tak beresiko. Olahraga itu keras. Hanya orang berani yang mau mendedikasikan dirinya untuk menjadi atlet. Tak ingat atlet angkat berat yang tangan kirinya tiba-tiba patah di Olimpiade Rio 2016 tempo hari? Maaf menakut-nakuti. Aku masih sedikit merinding melihat videonya.

Kembali ke topik. Tak mengikuti satupun kegiatan ekstrakulikuler bukan berarti salah. Kita tahu ada berbagai macam siswa. Siswa pintar yang patut direkomendasikan mengikuti olimpiade sains. Ada siswa yang memiliki kesibukan di luar sekolah. Ekstrakulikuler pun tak hanya olahraga, jadi ada juga mereka yang mencari kesibukan di OSIS, Pramuka, atau semacamnya. Tak salah. Itu baik. Yang perlu dipertanyakan adalah mereka yang tak masuk ke dalam tipe manapun. Mereka hanya bersekolah seperti itu kewajiban atau kasarnya perintah orang tua. Mereka sekolah seperti “teman-teman melanjutkan sekolah ke SMA itu artinya aku juga”. Sekolah seperti, “itu untuk masa depanku” meskipun ia tak tahu benar apa itu masa depan, atau tak tahu seperti apa pengaruh sekolahnya saat itu untuk masa depannya kelak. Mereka berangkat sekolah dengan menggunakan sepeda motor hasil ‘meminta’ kepada orang tua. “Aku mau motor keluaran terbaru, kalau tidak aku tak mau berangkat sekolah”. Sepulang sekolah ia tak langsung pulang, tapi bermain dengan teman-temannya. Ia pergi ke restoran cepat saji atau ke mini market membeli makanan ringan yang biasa dibeli orang-orang berdasi, berkantong tebal itu, dengan uang jajan yang ia dapat dari orang tuanya. Lebih parah lagi jika diantara makanan ringan itu ada sebuah kotak kardus kecil dengan tinggi tak lebih dari sejengkal dan ada kata-kata ‘membunuhmu’ tertulis di sana. Di lain kesempatan ia meminta orang tuanya untuk membelikannya handphone model terbaru agar tak kalah dengan teman-temannya. Agar terlihat keren, katanya. Tak hanya sepulang sekolah, di hari libur pun ia pergi hang out dengan teman-temannya. Hanya teman saja rasanya belum gaul, mereka mencari pacar yang ketika ulang tahunnya, ia meminta uang tambahan pada orang tua guna membelikan sang pacar hadiah. Atau, kalian ingin aku mengungkapkan yang terjadi di sini? Tawuran misalnya. Cari masalah agar di perhatikan.

Semakin banyak tingkah konyol anak SMA zaman sekarang, rasa syukurku semakin bertambah. Meskipun yang aku lakukan ketika SMA tak banyak mendominasi kehidupanku yang sekarang, tapi dari segi organisasi aku belajar banyak hal. Hal itu yang mendominasiku saat ini dan aku bersyukur.




Dedikasi masa muda. Aku harap aku, kau, kita semua tak hidup hanya sekedar hidup. Aku harap aku, kau, dan kita semua bisa mencari apa arti hidup kita detik ini, hari ini. Aku harap hidup ini tak sekedar hidup tapi hidup yang berkualitas. Hidup yang memiliki arti. Salah satu yang membedakan kebanyakan kita dengan kebanyakan warga di negara barat sana. Mereka manusia yang memiliki akal dan mereka menggunakan akalnya. Mereka tak hanya sekolah dari SD sampai Perguruan Tinggi, lalu bekerja, menerima gaji, menikah, memiliki anak, dan menghabiskan waktu tua dengan tabungan yang sudah mereka kumpulkan selama ini, tapi juga ketika perjalanan dari rumah ke kantor, otak mereka bekerja. Mereka memikirkan arti hidup mereka, memikirkan bagaimana seharusnya hidup mereka berjalan. Yakin bahwa hidup dengan cara yang benar lah mereka akan mendapatkan ketentraman dalam hidup. Mendapatkan makna hidup yang sesungguhnya. Juga mencari kebenaran bagaimana agar ketika mereka mati nanti ada sesuatu yang berharga yang bisa orang-orang kenang darinya. Bagaimana agar dunia ingat bahwa mereka pernah hidup.

Pun ketika masa muda. Aku harap kita semua dapat melakukan semua hal yang bermanfaat untuk hidup kita. Aku harap kita bisa melalui hari-hari kita dengan hal yang berarti dan memiliki nilai. “Apa benar masa mudaku harus aku lalui dengan cara seperti ini?” Aku teringat pertanyaan tokoh Chika dalam anime Haruchika yang telah berjuang keras berlatih voli selama masa SMP hingga menjadi pemain handal lalu berganti mengikuti eskul orkestra begitu masuk SMA.

Aku harap adik-adikku mampu menemukan sesuatu yang bisa membuat mereka ‘mabuk’. Membuat mereka mengabaikan hal lain. Totalitas akan satu hal. Aku harap adik-adikku menemukan tempat mereka. Dalam momen kemerdekaan kemarin pun, adik-adikku itu mampu membuatku terhanyut dalam doaku untuk mereka. Melihat mereka menangis untuk negara. Melihat mereka berjuang di masa-masa SMA mereka ini untuk berlatih agar mampu menghantarkan sang saka merah putih kesinggasananya dengan baik. Aku bangga pada mereka. Aku ingin mereka bersyukur dengan apa yang telah mereka lalui. Hari-hari bersama teman-teman baru di karantina. Aku harap mereka tak pernah melupakan apa yang mereka rasakan saat itu. Terus dengan semangat untuk negeri. Terus dengan semangat mengabdi pada Indonesia. Totalitas membangun bangsa. Andhika Bhayangkari. Pengabdian yang tak setengah-setengah.




Setiap anak diciptakan dengan potensialnya masing-masing. Kembangkan itu. Dengan itu berkaryalah. Buat mereka selalu mengenang kalian. Buat dunia tahu siapa kalian. Dengan dedikasi lah garis hidup kalian layak untuk dibukukan.






Manusia yang baik ialah mereka yang mau belajar. Dan aku belajar dari komentar kalian.


Pesimis akan penutupan yang baik, tapi sekian dan terima kasih.










Jaya Indonesiaku!
Salam! :)V

Sabtu, 13 Agustus 2016

Kedai Kopiku Sendiri (Ku Tak Mau Jadi Orang Tua Otoriter dan Egois!)

Terkadang aku berkhayal. Seperti di film-film. Bisa berkunjung ke sebuah kedai kopi sederhana di pinggir jalan di sebuah kota kecil. Duduk di depan meja bar disambut senyum dan sapaan hangat sang barista berlanjut pada perbincangan yang menyenangkan. Hingga pelanggan lain datang meletakkan topinya di meja bar dan duduk di sampingku. Seorang pria dewasa yang bahkan bisa dikatakan orang tua itu mengalihkan pandangannya kearahku setelah mendapatkan dirinya nyaman di kursinya. Yang datang membalas wajah keherananku tak lain tak bukan adalah senyum hangat pak tua itu. Berbaur dengan perbincanganku dengan sang barista tak kusangka menjadi lebih menyenangkan. Pak tua itu sudah hidup jauh lebih lama dariku ataupun dari sang barista. Itu yang membuatnya menjadi yang paling bijak diantara kami. Mendengar beragam kisah menariknya yang tak jarang mengharukan dan penuh emosi, serta mendengarkan pemikirannya setelah ia mengalami peristiwa itu. Merasakan sendiri getir, manis, pahitnya kehidupan. Pun ia lebih tua dari kami, pun ia memiliki pengalaman lebih banyak dibandingkan dengan kami atau bisa kukatakan ‘jelas orang tua lebih banyak pengalaman, lebih banyak tahu’, tak lantas membuat kami memasang raut wajah seperti anak yang bosan dinasehati orang tuanya, karena setiap kami menyampaikan pendapat kami akan ceritanya, ia mendengarkan, ia menerimanya, ia tak menyebut kami salah, ia tak mengatakan “kalian anak muda tahu apa?”. Ia menerima idealisme kami. Itu yang kubayangkan. Saling berbagi kisah terutama dengan orang-orang seperti pak tua, yang banyak pengalaman namun memiliki sikap yang baik terhadap kami, kaum muda karena masih memiliki idealisme dan semangat juang muda membangun bangsa. Itulah kami, disanalah kami. Di kedai kopi kecil sederhana berbagi kisah hidup antara barista dan pelanggannya yang mahasiswa dan seorang tua.


Tapi kini, ketika aku sadar, aku harus kembali ke kenyataan. T_T

Bercanda. XD

Ketika aku sadar, aku telah memiliki tempat sendiri untuk berbagi kisah hidup. Tak perlu kopi, kedai, dan baristanya. Juga tak ada pak tua. Atau lebih tepatnya belum ada. Di kampus, di samping kegiatan kuliah tentu terkadang kita menyisihkan waktu untuk bergaul. Bersosialisasi dengan yang lain. Dari teman, dosen sampai petugas keamanan kampus.

Dari berbagai banyak perbincangan selama berkuliah di satu-satunya universitas negeri di kota besar ini, kemarin aku kembali bertemu dengan salah satu teman setelah tidak berjumpa karena libur panjang sekian pekan. Dimulai dengan keluhannya akan hubungannya dengan kedua orang tuanya perbincangan bisa menjadi lebih seru dari pertunjukkan sirkus yang harga tiketnya sebesar uang jajanku. Maaf hiperbola.

Orang tua otoriter tidak hanya di pihaknya, aku dan kalian pun mungkin memiliki orang tua yang otoriter. Orang tua yang lebih dulu terlahir di dunia. Orang tua yang lebih lama mengalami manis pahitnya hidup. Orang tua yang lebih banyak pengalaman. Orang tua yang lebih banyak tahu dibandingkan anaknya. Maka dari itu, mereka memaksakan keputusannya kepada anaknya karena merasa itu yang terbaik untuk anaknya. Karena mereka menyayangi anaknya. Karena mereka ingin masa depan anaknya cerah. Karena mereka ingin anaknya memiliki kehidupan yang serba berkecukupan, tak susah, tak perlu berjuang mati-matian dari nol seperti mereka dulu. Karena mereka, ingin anaknya bahagia.

Baju seharga 100 ribu rupiah untukku aku sebut mahal. Tapi uang 100 ribu rupiah mungkin hanya cukup membiayai satu orang anak untuk satu hari dalam sebuah keluarga konglomerat. Mahal itu relatif. Cantik itu relatif. Bagus itu relatif. Bahagia pun, itu relatif. Bahagia bagi setiap orang memiliki arti yang berbeda-beda. Sekalipun orang yang memiliki hubungan darah. Ketika orang tua memberikan sesuatu agar anaknya bahagia (menurutnya), tidak berarti anak bahagia ketika mendapatkannya. Aku rasa kalian mengerti maksudku. Ketika sang anak memiliki kesenangan dan bakat dibidang seni, tapi orang tua mendaftarkannya ke sekolah kesehatan. Ketika sang anak tidak menyukai segala hal berbau ekonomi atau bisnis, tapi orang tua memaksa sang anak untuk mengambil jurusan akutansi. Ups! Atau ketika SMA sang anak menikmati kegiatannya di klub basket sekolah, namun orang tua melarang karena akan mengganggu belajar si anak dan bisa membuat anaknya mendapatkan nilai do, re, mi di ujian misalnya. Selain itu ada juga orang tua yang otoriter dalam hal aturan. Memberi aturan bukanlah hal buruk. Justru kita hidup harus memiliki aturan. Namun terkadang ada orang tua yang dengan keras mengatur anaknya. Keras yang, ya, memang ‘sangat keras’. Selain otoriter, ketika anak ingin mengatakan sesuatu, bercerita, berkeluh kesah, orang tua tak mendengarkan, tak peduli. “Egois. Anak harus mendengarkan apa kata mereka, namun mereka tak mau menyingkirkan pekerjaan mereka sejenak untuk memperhatikan sang anak bercerita” begitulah kata temanku.

Sikap seperti itulah yang membuat anak memberontak dan melawan. Seperti aku yang sering mengambil tindakan nekat atau tetap pergi ke sekolah untuk kegiatan ekstrakulikuler meskipun tidak diijinkan. Beruntung, bersyukur, jika sang anak berani mengungkapkan perasaannya, ketidaksukaannya. Namun jika sang anak pendiam, selalu mengurung diri, dan tak mau berinteraksi dengan keluarganya?

Aku dan temanku saling berbagi sebagai seorang anak yang sudah melewati usia dewasa awal. Temanku itu baru akhir-akhir ini mengungkapkan isi hatinya selama ini kepada kedua orang tuanya. Dengan tetes air mata, berharap kedua orang tuanya mau mengerti. Usaha untuk membuat orang tua tak lagi memaksakan kehendak dengan perasaan murni seorang anak. Sementara aku, dan adikku pun, berusaha dengan cara lain. Mencoba ‘berbagi’ ilmu yang belum dapat dicapai oleh orang-orang desa seperti keluargaku. Berbagi banyak ilmu, berharap semoga orang tua kami pun dibukakan pikirannya. Terutama segala hal tentang keluarga. Mendidik anak, saling menghargai antar anggota keluarga, dan saling mendengarkan cerita bahagia ataupun cerita sedih anggota keluarga yang lain. Karena, meskipun itu darah daging mereka, anak itu tetap memiliki otaknya sendiri. Memiliki pendapat dan pemikirannya sendiri. Memiliki perasaan yang belum tentu sama dengan orang tuanya. Perbedaan itu yang membuat anak harus bicara dan orang tua mendengarkan agar saling mengerti. Secara garis besar itulah ilmu yang coba kami ‘bagikan’ kepada kedua orang tua kami. Ayah terutama. Dengan pemikiran terbuka aku dan adikku berharap mereka lebih mau mendengarkan.

Pun aku dan temanku, masing-masing berusaha sehingga setidaknya kedua orang tua kami mau menghilangkan sifat egois dan/atau otoriter mereka itu, kami tetaplah anak yang telah hidup sekian tahun menjadi manusia yang mendapatkan ilmu dari lingkungan yang jauh lebih luas dibandingkan ketika kami kecil dulu. Lingkungan itu membuat kami tumbuh besar sebagai manusia yang lebih banyak lagi berpikir. Tahu mana yang benar dan mana yang salah. Tahu bagaimana harus bersikap dalam kondisi tertentu. Tahu, bahwa kami mengoreksi orang lain pun, koreksian itu berlaku untuk kami. Untuk aku pribadi, kalau aku tak mendengarkan cerita atau kata-kata anakku kelak, aku akan mencap diriku sebagai manusia paling buruk yang pernah ada. Kalau seorang anak diam, tak berkata pada seseorang ketika ia merasa terluka, sakit atau tak senang dengan sesuatu, itu adalah keadaan terburuk sepanjang masa.


Kedua orang tuaku kini lebih mau mendengarkan kata-kataku dan adikku. Mungkin itu karena kedua anaknya sudah lebih mengerti keadaan, lebih mengerti apa arti menjadi dewasa. Tapi, apa lantas ketika sang anak masih kecil, belum dewasa, orang tua tak memiliki keharusan untuk mendengarkan celoteh dan gerutuannya? Aku berusaha keras agar pelajaran yang aku dapat terpatri kuat di kepalaku. Pelajaran untuk mendengarkan anak, menghargai dia, tak memaksakan kehendak kita padanya. Memberinya kebebasan namun tetap harus bisa bersikap tegas ketika dibutuhkan.

Parenting School, dengan ilmunya mendidik anak dalam keluarga, sudah banyak tersebar dimana-mana karena kini masyarakat sadar itu sangat penting dan dibutuhkan oleh bangsa Indonesia saat ini. Sehingga aku yakin di antara kalian pasti ada yang lebih paham tentang topik ini. Aku yang sekarang, belumlah bisa memberikan contoh kongkret penyelesaian masalah tentang mendidik anak. Belum bisa menjelaskan dengan rinci, jika anak seperti ini, seperti itu, melakukan ini, melakukan itu, respon apa yang sebaiknya orang tua berikan? Untuk yang seperti itu, pergilah kepada yang ahli. Sementara aku, menurutku aku hanya perlu jujur, terbuka dengan anak. Anak bukan boss yang harus kita takuti karena bisa memecat kita. Anak juga bukan bawahan yang bisa kita perintah seenaknya, atau bisa kita gurui selamanya. Orang-orang hebat itu bilang, bukan? Bahwa anak sebaiknya kita anggap sebagai teman. Kita juga harus berusaha agar anak menganggap orang tuanya sebagai teman, sahabat terbaiknya.


Di ujung obrolan, aku teringat sesuatu lalu kuceritakan pada temanku itu. Seorang ayah, pria dewasa datang dari kota pulang ke rumah orang tuanya di kampung halaman dengan membawa serta istri dan anak satu-satunya untuk berlibur 3, 4 hari. Pria itu bisa dikatakan adalah anak yang paling sukses di antara enam bersaudara anak dari nenek pemilik rumah itu. Ke rumah nenek itu, datang pula cucu tertuanya. Anak pertama dari anak pertamanya. Seorang laki-laki 20 tahunan yang berhasil mendapatkan ijasah SMAnya walau tak melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Dulu ia bekerja, namun saat itu tidak. Sekian bulan ia menganggur. Kegiatannya dikala itu adalah bermain dengan teman-temannya dan ketika itu pula ia baru saja pulang dari bermain futsal. Pertemuannya dengan sang paman ketika itupun menjadi awal deretan kata yang kemudian sang paman utarakan. Tak marah, mungkin hanya kesal. Atau mungkin juga tak kesal? Hanya bersikap sebagai mana mestinya ia yang seorang adik bisa membantu kakaknya untuk menasehati sang anak. “Kau itu kerjanya hanya bermain futsal saja. Cari kerja sana! Memang bermain futsal bisa memberimu uang? Bermain futsal tak ada gunanya” Semacam itulah. Tanpa memberi kesempatan si anak berbicara sang paman hanya mengeluarkan kata-kata menasehatinya. Mungkin saja, bukan? Bahwa dalam hati, anak itu berkata “Paman siapa? Hidup enak di kota, pulang hanya satu tahun sekali, bertemu denganku pun satu tahun sekali, mengerti apa paman tentangku. Tak usah sok ikut campur. Aku pun ingin bekerja, membantu ayah. Aku kasihan pada ibu dan ayah. Aku sudah berusaha keras mencari pekerjaan kesana-kemari. Paman tak tahu apa-apa bisa menasehatiku seperti itu??” atau semacamnya. Kalian pasti pernah merasakannya, bukan? Ketika seseorang tiba-tiba memberi kita wejangan macam-macam seolah menyalahkan kita padahal kita pun sedang berjuang. Padahal kita sudah tahu apa salah kita. Tak perlulah orang itu sampai berkobar api semangat unjuk gigi merasa dirinya paling benar dan paling hebat, menasehati kita. Aku dan adikku hanya bisa tertawa kecil keheranan memikirkan tentang kisah ini. Kami heran, paman itu orang kota, tapi kenapa ilmunya tentang mendidik anak terbatas sampai disitu? Menasehati anak itu bukankah sebaiknya tidak dengan cara seperti itu? Menyalahkan sang anak, menggurui, terus berbicara, memaksa sang anak mendengarkan, padahal sang anak tak pernah tahu kemana ia harus pergi jika ingin berkeluh kesah selama ini. Pun walau sebenarnya sang paman paham benar kondisinya karena diberitahu oleh ayah dari anak ini, kakaknya, anak ini tahu apa? Meskipun anak ini saat itu bukan lagi anak kecil, tapi laki-laki yang sudah dewasa, anak, yang di rumah pun tak punya tempat untuk mencurahkan hatinya, dinasehati dengan cara seperti itu? Bukankah itu hanya menambah beban hati, menambah kesalnya tidak suka diceramahi? Ya, yang aku dan adikku pikirkan hanya, “Bisa ya, orang yang cukup sukses, dari kota besar seperti paman tersebut tidak mengerti tentang cara mendidik anak. Kota besar, kawan. Orang kota hampir tak mengenal kata susah mencari informasi dan ilmu pengetahuan”


Aku hanyalah anak muda yang masih harus belajar banyak hal. Aku, kami, anak muda, memang masih banyak kekurangan. Pengalaman kami tak sebanyak bapak dan ibu. Kami masih jauh dari kata matang dalam hal pengalaman hidup. Namun kami harap bapak dan ibu tak lupa, tanpa pemuda-pemudi kita, tak akan ada idealisme yang masuk ke istana negara. Tak ada bau idealisme di tengah perbincangan di rapat paripurna di gedung DPR/MPR. Kami harap bapak dan ibu ingat, setiap manusia tumbuh. Semakin besar ia, semakin lama ia hidup di dunia, semakin banyak pula ilmu yang masuk ke kepalanya. Ia bukan lagi anak kecil yang melangkah ke arah meja dengan pisau bergambar hello kitty lucu di atasnya. Tapi ia sudah menjadi manusia yang bergerak setelah berpikir, melangkah dengan menggunakan akalnya. Manusia yang semakin dewasa ia semakin berakal. Dan aku rasa kalian tahu, semakin berakal ia, bisa jadi dominasi hati nuraninya melemah, berkurang. Lalu ketika ia tak peduli dengan itu, ia hanya akan tumbuh menjadi manusia berakal yang tak memiliki hati nurani. Kita tahu bahaya apa yang mengancam jika semua pemimpin kita seperti itu.

Untuk itu kita harus memperjuangkan space hati nurani itu, rasa peduli, kasih sayang, idealisme itu. Namun tak semudah membalikkan ayam yang sedang digoreng. Eh, maksudku, tak semudah membalikkan telapak tangan. Faktor X diluar sana jumlahnya seperti cinta kalian, tak terhingga. Kita butuh wujud nyata dari hati nurani itu, idealisme itu. Dan itu adalah anak-anak kita. Orang tua yang hanya terus berbicara, mengeluarkan semua ‘ilmu’ yang ada di dalam kepalanya, ‘ilmu’ yang dikumpulkan dari semua pengalamannya, tanpa pernah satu kalipun mendengarkan kata-kata anaknya, hanya akan membunuh karakter sang anak, membuat anak bersikap tak peduli, melawan, tertutup. Itu hanya akan membunuh potensi sang anak, membunuh pemahamannya tentang haknya bersuara, berpendapat, membunuh kebebasannya. Dan merenggut hak bersuara dan kebebasan seseorang, bagiku, adalah kejahatan yang,,, aku tak tahu bagaimana mendeskripsikannya.


Mereka, anak-anak kita, hidup dan matinya bangsa kita. Mereka idealisme kita. Dengarkan mereka! Hargai mereka! Biarkan mereka berpendapat! Biarkan mereka memilih! Jika Anda ingin didengar, ingin dihargai, ingin berpendapat, ingin diberi kebebasan memilih, sayangi anak-anak! 



Aku merasa entriku yang satu ini agak berlebihan. Tidak seperti aku yang biasanya. Tapi aku harap tak ada yang tersinggung. Aku butuh koreksian dari kalian! Aku butuh mendengar pendapat kalian!







Sekian dan terima kasih.

Jaya Indonesiaku!
Salam. :)V