Blogger Widgets

Sabtu, 13 Agustus 2016

Kedai Kopiku Sendiri (Ku Tak Mau Jadi Orang Tua Otoriter dan Egois!)

Terkadang aku berkhayal. Seperti di film-film. Bisa berkunjung ke sebuah kedai kopi sederhana di pinggir jalan di sebuah kota kecil. Duduk di depan meja bar disambut senyum dan sapaan hangat sang barista berlanjut pada perbincangan yang menyenangkan. Hingga pelanggan lain datang meletakkan topinya di meja bar dan duduk di sampingku. Seorang pria dewasa yang bahkan bisa dikatakan orang tua itu mengalihkan pandangannya kearahku setelah mendapatkan dirinya nyaman di kursinya. Yang datang membalas wajah keherananku tak lain tak bukan adalah senyum hangat pak tua itu. Berbaur dengan perbincanganku dengan sang barista tak kusangka menjadi lebih menyenangkan. Pak tua itu sudah hidup jauh lebih lama dariku ataupun dari sang barista. Itu yang membuatnya menjadi yang paling bijak diantara kami. Mendengar beragam kisah menariknya yang tak jarang mengharukan dan penuh emosi, serta mendengarkan pemikirannya setelah ia mengalami peristiwa itu. Merasakan sendiri getir, manis, pahitnya kehidupan. Pun ia lebih tua dari kami, pun ia memiliki pengalaman lebih banyak dibandingkan dengan kami atau bisa kukatakan ‘jelas orang tua lebih banyak pengalaman, lebih banyak tahu’, tak lantas membuat kami memasang raut wajah seperti anak yang bosan dinasehati orang tuanya, karena setiap kami menyampaikan pendapat kami akan ceritanya, ia mendengarkan, ia menerimanya, ia tak menyebut kami salah, ia tak mengatakan “kalian anak muda tahu apa?”. Ia menerima idealisme kami. Itu yang kubayangkan. Saling berbagi kisah terutama dengan orang-orang seperti pak tua, yang banyak pengalaman namun memiliki sikap yang baik terhadap kami, kaum muda karena masih memiliki idealisme dan semangat juang muda membangun bangsa. Itulah kami, disanalah kami. Di kedai kopi kecil sederhana berbagi kisah hidup antara barista dan pelanggannya yang mahasiswa dan seorang tua.


Tapi kini, ketika aku sadar, aku harus kembali ke kenyataan. T_T

Bercanda. XD

Ketika aku sadar, aku telah memiliki tempat sendiri untuk berbagi kisah hidup. Tak perlu kopi, kedai, dan baristanya. Juga tak ada pak tua. Atau lebih tepatnya belum ada. Di kampus, di samping kegiatan kuliah tentu terkadang kita menyisihkan waktu untuk bergaul. Bersosialisasi dengan yang lain. Dari teman, dosen sampai petugas keamanan kampus.

Dari berbagai banyak perbincangan selama berkuliah di satu-satunya universitas negeri di kota besar ini, kemarin aku kembali bertemu dengan salah satu teman setelah tidak berjumpa karena libur panjang sekian pekan. Dimulai dengan keluhannya akan hubungannya dengan kedua orang tuanya perbincangan bisa menjadi lebih seru dari pertunjukkan sirkus yang harga tiketnya sebesar uang jajanku. Maaf hiperbola.

Orang tua otoriter tidak hanya di pihaknya, aku dan kalian pun mungkin memiliki orang tua yang otoriter. Orang tua yang lebih dulu terlahir di dunia. Orang tua yang lebih lama mengalami manis pahitnya hidup. Orang tua yang lebih banyak pengalaman. Orang tua yang lebih banyak tahu dibandingkan anaknya. Maka dari itu, mereka memaksakan keputusannya kepada anaknya karena merasa itu yang terbaik untuk anaknya. Karena mereka menyayangi anaknya. Karena mereka ingin masa depan anaknya cerah. Karena mereka ingin anaknya memiliki kehidupan yang serba berkecukupan, tak susah, tak perlu berjuang mati-matian dari nol seperti mereka dulu. Karena mereka, ingin anaknya bahagia.

Baju seharga 100 ribu rupiah untukku aku sebut mahal. Tapi uang 100 ribu rupiah mungkin hanya cukup membiayai satu orang anak untuk satu hari dalam sebuah keluarga konglomerat. Mahal itu relatif. Cantik itu relatif. Bagus itu relatif. Bahagia pun, itu relatif. Bahagia bagi setiap orang memiliki arti yang berbeda-beda. Sekalipun orang yang memiliki hubungan darah. Ketika orang tua memberikan sesuatu agar anaknya bahagia (menurutnya), tidak berarti anak bahagia ketika mendapatkannya. Aku rasa kalian mengerti maksudku. Ketika sang anak memiliki kesenangan dan bakat dibidang seni, tapi orang tua mendaftarkannya ke sekolah kesehatan. Ketika sang anak tidak menyukai segala hal berbau ekonomi atau bisnis, tapi orang tua memaksa sang anak untuk mengambil jurusan akutansi. Ups! Atau ketika SMA sang anak menikmati kegiatannya di klub basket sekolah, namun orang tua melarang karena akan mengganggu belajar si anak dan bisa membuat anaknya mendapatkan nilai do, re, mi di ujian misalnya. Selain itu ada juga orang tua yang otoriter dalam hal aturan. Memberi aturan bukanlah hal buruk. Justru kita hidup harus memiliki aturan. Namun terkadang ada orang tua yang dengan keras mengatur anaknya. Keras yang, ya, memang ‘sangat keras’. Selain otoriter, ketika anak ingin mengatakan sesuatu, bercerita, berkeluh kesah, orang tua tak mendengarkan, tak peduli. “Egois. Anak harus mendengarkan apa kata mereka, namun mereka tak mau menyingkirkan pekerjaan mereka sejenak untuk memperhatikan sang anak bercerita” begitulah kata temanku.

Sikap seperti itulah yang membuat anak memberontak dan melawan. Seperti aku yang sering mengambil tindakan nekat atau tetap pergi ke sekolah untuk kegiatan ekstrakulikuler meskipun tidak diijinkan. Beruntung, bersyukur, jika sang anak berani mengungkapkan perasaannya, ketidaksukaannya. Namun jika sang anak pendiam, selalu mengurung diri, dan tak mau berinteraksi dengan keluarganya?

Aku dan temanku saling berbagi sebagai seorang anak yang sudah melewati usia dewasa awal. Temanku itu baru akhir-akhir ini mengungkapkan isi hatinya selama ini kepada kedua orang tuanya. Dengan tetes air mata, berharap kedua orang tuanya mau mengerti. Usaha untuk membuat orang tua tak lagi memaksakan kehendak dengan perasaan murni seorang anak. Sementara aku, dan adikku pun, berusaha dengan cara lain. Mencoba ‘berbagi’ ilmu yang belum dapat dicapai oleh orang-orang desa seperti keluargaku. Berbagi banyak ilmu, berharap semoga orang tua kami pun dibukakan pikirannya. Terutama segala hal tentang keluarga. Mendidik anak, saling menghargai antar anggota keluarga, dan saling mendengarkan cerita bahagia ataupun cerita sedih anggota keluarga yang lain. Karena, meskipun itu darah daging mereka, anak itu tetap memiliki otaknya sendiri. Memiliki pendapat dan pemikirannya sendiri. Memiliki perasaan yang belum tentu sama dengan orang tuanya. Perbedaan itu yang membuat anak harus bicara dan orang tua mendengarkan agar saling mengerti. Secara garis besar itulah ilmu yang coba kami ‘bagikan’ kepada kedua orang tua kami. Ayah terutama. Dengan pemikiran terbuka aku dan adikku berharap mereka lebih mau mendengarkan.

Pun aku dan temanku, masing-masing berusaha sehingga setidaknya kedua orang tua kami mau menghilangkan sifat egois dan/atau otoriter mereka itu, kami tetaplah anak yang telah hidup sekian tahun menjadi manusia yang mendapatkan ilmu dari lingkungan yang jauh lebih luas dibandingkan ketika kami kecil dulu. Lingkungan itu membuat kami tumbuh besar sebagai manusia yang lebih banyak lagi berpikir. Tahu mana yang benar dan mana yang salah. Tahu bagaimana harus bersikap dalam kondisi tertentu. Tahu, bahwa kami mengoreksi orang lain pun, koreksian itu berlaku untuk kami. Untuk aku pribadi, kalau aku tak mendengarkan cerita atau kata-kata anakku kelak, aku akan mencap diriku sebagai manusia paling buruk yang pernah ada. Kalau seorang anak diam, tak berkata pada seseorang ketika ia merasa terluka, sakit atau tak senang dengan sesuatu, itu adalah keadaan terburuk sepanjang masa.


Kedua orang tuaku kini lebih mau mendengarkan kata-kataku dan adikku. Mungkin itu karena kedua anaknya sudah lebih mengerti keadaan, lebih mengerti apa arti menjadi dewasa. Tapi, apa lantas ketika sang anak masih kecil, belum dewasa, orang tua tak memiliki keharusan untuk mendengarkan celoteh dan gerutuannya? Aku berusaha keras agar pelajaran yang aku dapat terpatri kuat di kepalaku. Pelajaran untuk mendengarkan anak, menghargai dia, tak memaksakan kehendak kita padanya. Memberinya kebebasan namun tetap harus bisa bersikap tegas ketika dibutuhkan.

Parenting School, dengan ilmunya mendidik anak dalam keluarga, sudah banyak tersebar dimana-mana karena kini masyarakat sadar itu sangat penting dan dibutuhkan oleh bangsa Indonesia saat ini. Sehingga aku yakin di antara kalian pasti ada yang lebih paham tentang topik ini. Aku yang sekarang, belumlah bisa memberikan contoh kongkret penyelesaian masalah tentang mendidik anak. Belum bisa menjelaskan dengan rinci, jika anak seperti ini, seperti itu, melakukan ini, melakukan itu, respon apa yang sebaiknya orang tua berikan? Untuk yang seperti itu, pergilah kepada yang ahli. Sementara aku, menurutku aku hanya perlu jujur, terbuka dengan anak. Anak bukan boss yang harus kita takuti karena bisa memecat kita. Anak juga bukan bawahan yang bisa kita perintah seenaknya, atau bisa kita gurui selamanya. Orang-orang hebat itu bilang, bukan? Bahwa anak sebaiknya kita anggap sebagai teman. Kita juga harus berusaha agar anak menganggap orang tuanya sebagai teman, sahabat terbaiknya.


Di ujung obrolan, aku teringat sesuatu lalu kuceritakan pada temanku itu. Seorang ayah, pria dewasa datang dari kota pulang ke rumah orang tuanya di kampung halaman dengan membawa serta istri dan anak satu-satunya untuk berlibur 3, 4 hari. Pria itu bisa dikatakan adalah anak yang paling sukses di antara enam bersaudara anak dari nenek pemilik rumah itu. Ke rumah nenek itu, datang pula cucu tertuanya. Anak pertama dari anak pertamanya. Seorang laki-laki 20 tahunan yang berhasil mendapatkan ijasah SMAnya walau tak melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Dulu ia bekerja, namun saat itu tidak. Sekian bulan ia menganggur. Kegiatannya dikala itu adalah bermain dengan teman-temannya dan ketika itu pula ia baru saja pulang dari bermain futsal. Pertemuannya dengan sang paman ketika itupun menjadi awal deretan kata yang kemudian sang paman utarakan. Tak marah, mungkin hanya kesal. Atau mungkin juga tak kesal? Hanya bersikap sebagai mana mestinya ia yang seorang adik bisa membantu kakaknya untuk menasehati sang anak. “Kau itu kerjanya hanya bermain futsal saja. Cari kerja sana! Memang bermain futsal bisa memberimu uang? Bermain futsal tak ada gunanya” Semacam itulah. Tanpa memberi kesempatan si anak berbicara sang paman hanya mengeluarkan kata-kata menasehatinya. Mungkin saja, bukan? Bahwa dalam hati, anak itu berkata “Paman siapa? Hidup enak di kota, pulang hanya satu tahun sekali, bertemu denganku pun satu tahun sekali, mengerti apa paman tentangku. Tak usah sok ikut campur. Aku pun ingin bekerja, membantu ayah. Aku kasihan pada ibu dan ayah. Aku sudah berusaha keras mencari pekerjaan kesana-kemari. Paman tak tahu apa-apa bisa menasehatiku seperti itu??” atau semacamnya. Kalian pasti pernah merasakannya, bukan? Ketika seseorang tiba-tiba memberi kita wejangan macam-macam seolah menyalahkan kita padahal kita pun sedang berjuang. Padahal kita sudah tahu apa salah kita. Tak perlulah orang itu sampai berkobar api semangat unjuk gigi merasa dirinya paling benar dan paling hebat, menasehati kita. Aku dan adikku hanya bisa tertawa kecil keheranan memikirkan tentang kisah ini. Kami heran, paman itu orang kota, tapi kenapa ilmunya tentang mendidik anak terbatas sampai disitu? Menasehati anak itu bukankah sebaiknya tidak dengan cara seperti itu? Menyalahkan sang anak, menggurui, terus berbicara, memaksa sang anak mendengarkan, padahal sang anak tak pernah tahu kemana ia harus pergi jika ingin berkeluh kesah selama ini. Pun walau sebenarnya sang paman paham benar kondisinya karena diberitahu oleh ayah dari anak ini, kakaknya, anak ini tahu apa? Meskipun anak ini saat itu bukan lagi anak kecil, tapi laki-laki yang sudah dewasa, anak, yang di rumah pun tak punya tempat untuk mencurahkan hatinya, dinasehati dengan cara seperti itu? Bukankah itu hanya menambah beban hati, menambah kesalnya tidak suka diceramahi? Ya, yang aku dan adikku pikirkan hanya, “Bisa ya, orang yang cukup sukses, dari kota besar seperti paman tersebut tidak mengerti tentang cara mendidik anak. Kota besar, kawan. Orang kota hampir tak mengenal kata susah mencari informasi dan ilmu pengetahuan”


Aku hanyalah anak muda yang masih harus belajar banyak hal. Aku, kami, anak muda, memang masih banyak kekurangan. Pengalaman kami tak sebanyak bapak dan ibu. Kami masih jauh dari kata matang dalam hal pengalaman hidup. Namun kami harap bapak dan ibu tak lupa, tanpa pemuda-pemudi kita, tak akan ada idealisme yang masuk ke istana negara. Tak ada bau idealisme di tengah perbincangan di rapat paripurna di gedung DPR/MPR. Kami harap bapak dan ibu ingat, setiap manusia tumbuh. Semakin besar ia, semakin lama ia hidup di dunia, semakin banyak pula ilmu yang masuk ke kepalanya. Ia bukan lagi anak kecil yang melangkah ke arah meja dengan pisau bergambar hello kitty lucu di atasnya. Tapi ia sudah menjadi manusia yang bergerak setelah berpikir, melangkah dengan menggunakan akalnya. Manusia yang semakin dewasa ia semakin berakal. Dan aku rasa kalian tahu, semakin berakal ia, bisa jadi dominasi hati nuraninya melemah, berkurang. Lalu ketika ia tak peduli dengan itu, ia hanya akan tumbuh menjadi manusia berakal yang tak memiliki hati nurani. Kita tahu bahaya apa yang mengancam jika semua pemimpin kita seperti itu.

Untuk itu kita harus memperjuangkan space hati nurani itu, rasa peduli, kasih sayang, idealisme itu. Namun tak semudah membalikkan ayam yang sedang digoreng. Eh, maksudku, tak semudah membalikkan telapak tangan. Faktor X diluar sana jumlahnya seperti cinta kalian, tak terhingga. Kita butuh wujud nyata dari hati nurani itu, idealisme itu. Dan itu adalah anak-anak kita. Orang tua yang hanya terus berbicara, mengeluarkan semua ‘ilmu’ yang ada di dalam kepalanya, ‘ilmu’ yang dikumpulkan dari semua pengalamannya, tanpa pernah satu kalipun mendengarkan kata-kata anaknya, hanya akan membunuh karakter sang anak, membuat anak bersikap tak peduli, melawan, tertutup. Itu hanya akan membunuh potensi sang anak, membunuh pemahamannya tentang haknya bersuara, berpendapat, membunuh kebebasannya. Dan merenggut hak bersuara dan kebebasan seseorang, bagiku, adalah kejahatan yang,,, aku tak tahu bagaimana mendeskripsikannya.


Mereka, anak-anak kita, hidup dan matinya bangsa kita. Mereka idealisme kita. Dengarkan mereka! Hargai mereka! Biarkan mereka berpendapat! Biarkan mereka memilih! Jika Anda ingin didengar, ingin dihargai, ingin berpendapat, ingin diberi kebebasan memilih, sayangi anak-anak! 



Aku merasa entriku yang satu ini agak berlebihan. Tidak seperti aku yang biasanya. Tapi aku harap tak ada yang tersinggung. Aku butuh koreksian dari kalian! Aku butuh mendengar pendapat kalian!







Sekian dan terima kasih.

Jaya Indonesiaku!
Salam. :)V

Tidak ada komentar:

Posting Komentar