Ini menjadi entri pertama yang aku tulis mengenai sesuatu yang bukan dengan sepenuh hati benar-benar memang aku ingin menulisnya. Kata beliau setelah kau mengikuti sebuah kegiatan, ceritakanlah, tulislah. Lalu publish. Ya, setelah aku pikir-pikir memang baik jika kita menulis. Tentang apapun itu. Tidak harus semua isi blogmu hanya tentang hal yang kau sukai saja. Lagipula dengan begini kita bisa berbagi ilmu dan pengalaman. Tapi karena aku bukan tipe orang yang senang menyebut nama dan senang dengan gaya bahasa yang aku buat sendiri, maaf jika tulisan di bawah ini akan sangat membosankan untuk dibaca.
Senin, 18 April 2016 aku dan seorang temanku mengikuti sebuah studium general di kampus. Jam 12.30 yang tertera pada banner dan postingan di Facebook yang aku baca, tapi acara dimulai jam 1 siang. Mungkin karena peserta yang belum sepenuhnya datang atau karena yang lain. Dari situ aku dan temanku berbincang sedikit tentang jam karetnya orang Indonesia. Juga tentang kami yang mendapat pembiasaan baik di jurusan kami yang selalu on time karena dosen-dosen di sana adalah mereka yang tidak jarang berhubungan dengan orang Jepang pula.
Acara dibuka lalu setelah kurang dari setengah kursi di auditorium itu diduduki. Tema studium general ketika itu adalah “Trisentra Pendidikan”. Formal, informal dan non formal haruslah berkombinasi dan saling melengkapi begitulah yang mereka sampaikan sebagai pengantar. Sambutan Ketua Pelaksana, Kepala Department Pendidikan dan Peneitian BEM UNJ dan Pembantu Rektor bidang Akademik UNJ sebagai Keynote Speakers. Beliau menyampaikan banyak hal mengenai pendidikan Indonesia.
Sebagai pengantar beliau sempat menyampaikan bahwa kampus kami sedang berusaha agar dapat bersaing dengan kampus-kampus lain. Menyamakan posisi dan memantaskan diri untuk bersaing diluar. Yakni menjadi kampus berakreditasi A, yang saat ini sudah kami pegang. Dari itu sebenarnya aku sempat berpikir, apakah benar akreditasi A yang harus kami tanamkan dalam otak sebagai target? Apakah benar tidak ada masalah dengan cara-cara yang kami lakukan untuk mencapai target tersebut? Aku menyukai beliau. Apalagi beliau lulusan filsafat. Aku menyukainya. Aku juga sepandangan dengannya. Mungkin hal tadi hanya pengantar, yang tak perlu disampaikan dengan bahasa idealisme. Hanya saja aku sedikit memikirkannya. Bagaimana kalau begini, yang menjadi target kita adalah menjadi kampus yang memproduksi tenaga-tenaga kependidikan yang berkualitas. Sama halnya dengan agama. Saat di SD dulu aku diajarkan bahwa asalkan kita sholat 5 waktu, pintar, cantik, kaya raya, itu semua akan mengikuti. Begitu juga dengan ini. Jika kita berfikir tujuan kita adalah mencetak tenaga pendidik berkualitas, profesional demi pendidikan bangsa, akreditasi, penghargaan-penghargaan atau apapun itu pasti akan mengikuti. Karena dengan hati kita yang mencintai Indonesia, menginginkan pendidikan Indonesia yang maju, itu akan mendorong kita berbuat lebih, berkorban, berjuang dalam kerja kita meningkatkan semua unsur-unsur dalam kampus selaku mesin pencetak itu sendiri.
Pesan lain yang ia sampaikan yang aku rasa itu memang pantas disampaikan untukku, “banyak membaca” jangan sampai ternyata ilmu pengetahuan yang ada di Indonesia tertinggal dengan negara lain. Mungkin saja ilmu kita sebenarnya sudah jadul. Mereka sudah sampai dimana kita masih berjalan pelan disini.
Selain itu, jika siswa-siswa kita dipertemukan dengan siswa-siswa Amerika dan diberi pertanya, siswa dari Amerika akan memaparkan agrumentasinya sementara siswa kita adalah pemaparan definisi. Yang menjadi pertanyaan dalam dunia pendidikan formal kita, apakah yang kita pelajari levelnya sudah setara dengan yang dipelajari mereka di luar sana? Teringat dengan obrolan mengenai RSBI beberapa waktu silam, terjadi kekeliruan dalam mengartikan RSBI. Kita mengartikannya sebagai sekolah yang menggunakan dua bahasa pengantar yakni bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Sementara sebenarnya RSBI ialah sekolah dengan level atau bobot ilmu pengetahuan yang di sampaikan setara dengan standar Internasional. Tanpa tambahan bahasa pengantar bahasa Inggris pun sepertinya tak jadi masalah, kita hanya perlu memandang bahwa sekolah RSBI mampu mendidik anak-anak yang mampu disandingkan dengan anak-anak dari negara lain. Agar ketika siswa kita keluar, apa yang sudah ia dapat di sekolah setara dengan siswa di luar negeri pada level yang sama. Melihat fenomena dimana tas anak sekolah lebih besar dari badan si anak itu sendiri juga topik yang menarik. Apa yang seharusnya disampaikan di dalam kelas adalah apa yang memang dibutuhkan agar tidak overload juga tidak kekurangan, begitu bapak pembantu rektor menyampaikan. Memberikan mata pelajaran yang memang dibutuhkan anak sekolah terutama sekolah dasar yang berbadan kecil, meskipun sedikit membuat kemampuan yang dimiliki anak tidak setengah-setengah.
Aku yang tertarik dengan pendidikan karakter sebagai kunci perubahan bangsa pun senang ketika beliau menyinggung soal itu. Beliau membahas tentang manusia yang beradab. Anda tidak beradab jika anda tidak risau kalau terlambat, Anda tidak beradab jika Anda tidak risau teman Anda tidak antri, Anda tidak risau jika anak didik Anda buang sampah sembarangan.
Dua langkah untuk mengubah dunia pendidikan kita adalah dengan memperbaiki kurikulum dan mutu guru. Kurikulum sudah jelas harus terus diperbaiki mengingat perkembangan zaman mengikuti kebutuhan manusia. Dariku sendiri aku masih setia mengharapkan system pendidikan kita fokus pada sekolah dasar, terutama kelas 1 – 3, dalam pembentukkan karakter dan mendidik manusia bermoral. Sementara dalam hal mutu guru, keynote speaker ini mengungkapkan hanya 35 persen dari 1,2 juta jumlah guru di Indonesia adalah lulusan LPTK atau Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan. Melihat fenomena sekarang guru sudah tidak dipandang sebagai profesi lagi, ungkap beliau. Melainkan salah satu dari berbagai jenis pekerjaan biasa. Jika seseorang tidak diterima bekerja disana sini, maka pelarian terakhir adalah guru. Padahal guru memiliki daya hancur yang besar.
Demokrasi pun menjadi bahasan yang tak terlewatkan karena pendidikan adalah salah satu korban dalam penyelenggaraan demokrasi di negri ini. Oligarki adalah istilah untuk demokrasi yang hanya ada dalam kalangan elit. Mereka mengadakan rapat paripurna membahas proyek-proyek tanpa peduli rakyatnya yang miskin semakin miskin. Dalam sebuah buku karya Farid beliau mengungkapkan demokrasi akan berkembang jika pendidikan masyarakatnya minimal SMA. Dan tingkat pendapatan per kapita 8000 USD. Mengapa minimal SMA? Karena SMA dinilai bisa berpikir kalkulatif rasional. Ketika pemilihan umum, masyarakat dengan pendidikan minimal SMA akan berpikir, jika ia memilih kandidat nomor sekian apa bagusnya. Orang yang tak mampu berpikir kalkulatif rasional ia akan memilih orang yang memberinya uang.
Dalam pendidikan kita, yang menjadi pertanyaan apakah nilai-nilai di sekolah sesuai dengan standar nilai dalam masyarakat? Ataukah nilai-nilai di sekolah dirusak masyarakat? Masyarakat memiliki kewajiban mendidik orang agar beradab. Masyarakat ada untuk membangun peradaban maka dari itu di dalam masyarakat ada education people, orang yang berpendidikan. Orang beradab adalah dia yang tahu mana yang boleh dilakukan dan mana yang tidak. Mana yang benar dan mana yang salah.
Di Indonesia saat ini keluarga adalah institusi terusak. Dari subuh ke subuh lagi yang ada hanya sinetron. Sementara beliau sempat bercerita tentang tema yang di bahas dalam salah satu edisi sebuah majalah, bahwa di sekolah siswa-siswi Amerika tidak pernah mendapatkan nilai straight A. A didominasi oleh siswa-siswa Cina, Jepang, Korea. Mereka yang mendapatkan nilai straight A adalah anak-anak Asia. Setelah di selidiki ternyata orang tua Asia lebih peduli pendidikan anaknya di bandingkan dengan orang tua Amerika. Ketika anak pulang sekolah orang tua Asia menanyakan bagaimana sekolah mereka sementara orang tua Amerika diam seperti tidak peduli. Hingga akhirnya Amerika mendidik lagi para orang tua. Di samping itu yang menjadi pertanyaan mengapa anak-anak kita tidak kritis? Di sekolah saja anak-anak kita sudah dibiasakan dengan soal multiple choice bukan essay. Anak diminta memilih salah satu dari pilihan jawaban yang sudah disediakan dan bukannya ditanya apa pendapatnya mengenai suatu hal.
Di akhir, pembantu rektor memberi pesan, jangan mengubah sekolah menjadi lembaga kursus. Karen ajika kita mengubah sekolah menjadi lembaga kursus sesungguhnya kita sedang menghancurkan sekolah.
Pembicara kedua memasuki fokus tema yakni Trisentra Pendidikan. Sebelumnya, pembantu rektor menyampaikan bahwa istilah Trisentra adalah istilah yang dibuat oleh teman-teman BEM UNJ dimana seperti yang di sampaikan ketua pelaksana, tiga fokus pendidikan yakni formal, informal dan non formal. Pembicara kedua yang merupakan peraih penghargaan E-Learning Award Depdiknas 2008, Kepala Sekolah Berprestasi 2008 dan Guru Berprestasi 2005 menyampaikan Trisentra Pendidikan yang diajarkan oleh Ki Hajar Dewantara, yakni Alam Keluarga, Alam Perguruan dan Alam Pergerakan Pemuda. Beliau banyak bercerita dan menyampaikan pengalaman-pengalaman pribadinya membuat acara siang hari itu berjalan lancar dan audience tertarik untuk senantiasa mendengarkan. Selain itu, terutama ketika menyampaika pendidikan di alam perguruan, yakni sekolah, beliau menunjukkan kondisi dunia pendidikan terutama sekolah menengah di negeri kita. Beliau juga cukup bersenda gurau dengan bahasannya dimana bangsa kita diajarkan dari TK sampai SMA untuk berseragam. Memakai baju yang sama. Sampai wisuda pun kita memakai toga yang sama. Di dunia kerja pun kita dituntut memakai seragam yang sama. Baik itu seragam hijau-hijau ataupun biru-biru. Namun sebenarnya yang ingin disampaikan, bangsa kita tidak dibiasakan untuk tampil berbeda. Untuk tidak sama dengan yang lainnya. Diantara orang-orang ‘berseragam’ yang membuat kita berbeda adalah ide. Aku berpikir akan lebih baiknya jika kita tak pernah menahan atau menghalangi ketika anak-anak kita ingin mengungkapkan sesuatu. Apapun itu. Walau di awal itu hanyalah imajinasi anak, namun seiring berkembang ia, ilmu pengetahuan yang ia dapat mampu menjadikan imajinasi menjadi cita-cita bahkan tujuan yang pasti akan dicapainya.
Orang-orang yang berpikir seperti beliau-beliau itu aku yakin masih banyak diluar sana. Teringat dengan apa yang disampaikan salah satu pembicara dalam seminar “Indonesia Muda Bangkit”, ada empat jenis pekerjaan, PNS, Akademisi, Politikus dan Wirausaha. Jika keempat profesi tersebut dimasukkan kedalam diagram berdasarkan tingkat ‘berani’ dan ‘mampu’, yang tidak berani dan tidak mampu adalah PNS, yang mampu tetapi tidak berani adalah akademisi, yang berani tapi tidak mampu adalah politisi dan yang mampu dan berani adalah wirausaha.
Dari pemaparan itu, aku berpikir bagaimana jika akademisi-akademisi kita lebih berani. para pengamat pendidikan, mereka-mereka yang peduli dengan pendidikan Indonesia diberi kekuasaan untuk mengubah sistem pendidikan Indonesia. Karena mereka adalah orang-orang yang masih aktif terjun langsung dalam lingkungan praktik pendidikan. Mereka yang bersentuhan langsung dengan anak-anak, mahasiswa. Mereka yang setiap hari mendengar langsung kejujuran hati polos anak-anak dan idealisme mahasiswa mereka. Mereka yang aku harap mampu mengontrol diri dan berani bertindak ketika kekuasan untuk mengubah kurikulum diserahkan ke tangan mereka.
Pendidikan kita butuh perhatian lebih. Bukan hanya dari anggota DPR, namun juga dari masyarakat. Karena tanpa masyarakat semua usaha, kebijakan yang dicanangkan tak akan berpengaruh besar.
Itu yang bisa kutulis sebagai penjabaran dari apa yang aku dapat setelah mengikuti Studium General. Aku harap seminar-seminar atau kegiatan apapun itu yang aku ikuti setelah ini bisa aku tulis dan berbagi dengan kalian.
Maaf jika terdapat kesalahan dalam tulisan ini, Aku tak pernah bermaksud menyinggung siapapun. Aku hanya anak yang sedang berusaha menjadi lebih baik untuk lingkungan. Jadi, besar harapanku untuk mendapatkan koreksian dari kalian. Mohon bantuannya. ^_^
Terima kasih.
Jaya Indonesiaku!
Salam. :)