“Saya tidak akan hilang kesabaran kalau hanya itu masalahnya.”
Mama jadi salah tingkah ketika guru itu mencondongkan badannya ke depan. “Kalau dia tidak membuat kegaduhan dengan mejanya, dia berdiri. Selama jam pelajaran!”
“Berdiri? Di mana?” tanya Mama kaget.
“Di depan jendela,” jawab guru itu ketus.
“Kenapa dia berdiri di depan jendela?” tanya Mama heran.
“Agar dia bisa memanggil pemusik jalanan!” guru itu nyaris menjerit.
Kuroyanagi, 1981: 14
Mendidik berbeda dengan mengajar. Semua orang mampu mengajarkan asalkan mempunyai ilmu pengetahuan. Tetapi tidak semua orang mampu mendidik. Karena mendidik bukan hanya soal menyampaikan materi tetapi meneruskan dan mengembangkan nilai hidup.
Secara garis besar tujuan pendidikan di sini dan di sana sama saja. Tidak berbeda. Hanya cara mencapai tujuan itulah yang berbeda. Ada cara yang efektif, ada yang tidak. Ada cara yang cepat, ada yang tidak. Ada cara yang simple, ada juga yang membutuhkan segunung properti dalam pelaksanaannya. Bermacam-macam. Sama halnya dengan setiap individu yang dalam mencapai tujuannya mereka menggunakan cara yang berbeda-beda, setiap negara pun memiliki cara yang berbeda untuk mencapai tujuan pendidikan nasionalnya. Namun apakah benar cara tersebut mampu dengan tepat mewujudkan tujuan tersebut? Atau tidak?
Pengalaman melihat-lihat langsung ke sekolah dasar di Jepang memberikan pelajaran berharga. Membaca buku ini memberikan pengetahuan berharga. Betapa tidak, hati berkata bahwa di sinilah kunci sebuah bangsa tumbuh menjadi bangsa yang besar.
Ibu Guru menganggap Totto-chan nakal, padahal gadis cilik itu hanya punya rasa ingin tahu yang besar. Itulah sebabnya ia gemar berdiri di depan jendela selama pelajaran berlangsung. Karena para guru sudah tak tahan lagi, akhirnya Totto-chan dikeluarkan dari sekolah.
Mama pun mendaftarkan Totto-chan ke Tomoe Gakuen. Totto-chan girang sekali, di sekolah itu para murid belajar di gerbong kereta yang dijadikan kelas. Ia bisa belajar sambil menikmati pemandangan di luar gerbong dan membayangkan sedang melakukan perjalanan. Mengasyikkan sekali, kan?
Di Tomoe Gakuen, para murid juga boleh mengubah urutan pelajaran sesuai keinginan mereka. Ada yang memulai hari dengan belajar fisika, ada yang mendahulukan menggambar, ada yang ingin belajar bahasa dulu, pokoknya sesuka mereka. Karena sekolah itu begitu unik, Totto-chan pun merasa kerasan.
Walaupun belum menyadarinya, Totto-chan tidak hanya belajar fisika, berhitung, musik, bahasa, dan lain-lain disana. Ia juga mendapatkan banyak pelajaran berharga tentang persahabatan, rasa hormat dan menghargai orang lain, serta kebebasan menjadi diri sendiri.
Judul asli : Madogiwa no Totto-chan
Pengarang : Tetsuko Kuroyanagi
Negara : Japan
Genre : Sastra anak-anak, novel autobiografi
Tanggal rilis : 1981
Alih bahasa : Widya Kirana
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Halaman : 272 halaman
Cetakan : Ke-3, September 2003
ISBN : 979-22-0234
(Wikipedia, http://srimuliyani.blogspot.co.id/2014/08/resensi-novel-totto-chan.html)
Hari itu ia benar-benar sial. Dompet kesayangannya jatuh ke dalam kakus! Tidak ada uang di dalamnya, tapi Totto-chan sangat suka dompet itu.
Tapi totto-chan bertekad takkan menangis atau merelakan dompetnya hilang. Ia pergi ke gudang peralatan tukang kebun lalu mengeluarkan gayung kayu bertangkai panjang yang biasa digunakan untuk menyiram tanaman. Ia berjalan ke belakang sekolah sambil menyeret gayung itu dan mencoba menemukan lubang untuk mengosongkan bak penampungan kotoran. Setelah susah payah mencari, akhirnya ia melihat penutup lubang berbentuk bundar kira-kira satu meter dari situ. Dengan susah payah, ia membuka penutup itu dan akhirnya menemukan lubang yang dicarinya. Totto-chan menjulurkan kepalanya ke dalam.
“Wah, ini sama besarnya dengan kolam di Kuhonbutsu!” serunya.
Kemudian Totto-chan mulai bekerja. Ia mulai mencedok isi bak penampungan kotoran itu. Totto-chan mencedoki kotoran lalu menuangkannya ke tanah di sekitar lubang.
Tumpukan kotoran di tanah sudah cukup tinggi ketika Kepala Sekolah kebetulan lewat.
“Kau sedang apa?” tanyanya kepada Totto-chan.
“Dompetku jatuh,” jawab Totto-chan, sambil terus mencedok. Ia tak ingin membuang waktu.
“Oh, begitu,” kata Kepala Sekolah, lalu berjalan pergi, kedua tangannya bertaut di belakang punggung, seperti kebiasaanya ketika berjalan-jalan.
Waktu berlalu. Totto-chan belum juga menemukan dompetnya. Kepala sekolah datang lagi. “Kau sudah menemukan dompetnya?” tanyanya.
“Belum,” jawab Totto-chan dari tengah-tengah gundukan. Keringatnya berleleran dan pipinya memerah.
Kepala Sekolah mendekat dan berkata ramah, “Kau akan mengembalikan semuanya kalau sudah selesai, kan?” Kemudian pria itu pergi lagi, seperti sebelumnya.
“Ya,” jawab Totto-chan riang, sambil terus bekerja. Tiba-tiba sebuah pikiran terlintas di benaknya. Ia memandang tumpukan itu. Kalau aku sudah selesai aku bisa memasukkan semua kotoran itu kembali ke dalam bak, tapi bagaimana airnya?
Air kotor terserap cepat ke dalam tanah. Totto-chan berhenti bekerja dan mencoba memikirkan cara memasukkan air kotor kembali ke dalam bak, karena ia telah berjanji kepada Kepala Sekolah akan memasukkan semua kembali. Akhirnya ia memutuskan untuk memasukkan tanah yang basah.
Sekarang gundukkan itu benar-benar sudah menggunung dan bak penampungan nyaris kosong, namun dompet Totto-chan belum juga ditemukan. Mungkin tersangkut di pinggir bak atau tenggelam di dasar bak. Tapi Totto-chan tidak peduli. Ia puas karena telah mengerahkan seluruh kemampuannya untuk mencari dompet itu. Kepuasan Totto-chan jelas adalah hasil rasa percaya diri yang ditanamkan Kepala Sekolah dengan mempercayainya dan tidak memarahinya. Tapi, tentu saja hal itu terlalu rumit untuk bisa dimengerti Totto-chan saat itu.
Kebanyakan orang dewasa, jika mendapati Totto-chan dalam situasi seperti itu, akan bereaksi dengan berteriak, “Apa-apaan ini?” atau “Hentikan, itu berbahaya!” atau malah menawarkan bantuan.
Bayangkan, Kepala Sekolah hanya berkata, “Kau akan memasukkan semua kembali kalau kau sudah selesai, kan?”
Sungguh Kepala Sekolah yang hebat, pikir Mama ketika mendengarkan cerita kejadian itu dari Totto-chan.
Kuroyanagi 1981: 56-59
Ini memang buku lama, dan aku menyayangkan baru membacanya sekarang. Mungkin diantara kalian sudah ada yang membaca buku ini ketika tahun 90-an sampai 2000.
Bahasa yang digunakan ringan. Aku rasa anak kecil pun mampu dengan mudah memahaminya. Tak salah jika setelah terbitnya buku ini tak ada kendala yang berarti ketika buku ini dijadikan bahan ajar di sekolah dasar di Jepang.
Sistem mendidikan anak yang digunakan di Tomoe Gakuen terbukti menjadikan bangsa mereka memiliki warga negara yang berkepribadian dan bermoral baik.
Mereka memberikan kepercayaan pada anak-anak agar anak-anak tidak merasa disepelekan dan dianggap anak kecil yang tidak tahu apa-apa dan tidak patut ikut campur urusan orang dewasa. Mereka mendengar cerita, pendapat, keluhan anak-anak. Mereka mau berbagi dengan anak-anak, bercerita tentang masalah orang lain agar si anak belajar peduli dan belajar memahami masalah orang lain. Mereka tak menekankan mana benar mana salah, membiarkan anak-anak tumbuh sesuai umur, membiarkan alam dan lingkungan mendidik mereka.
Tomoe Gakuen. Bukan sekolah yang hanya sekedar sekolah. Tomoe Gakuen menjadi sekolah yang menyenangkan bagi anak-anak. Sekolah yang tak ingin ditinggalkan mereka. Sekolah yang selalu menumbuhkan bahagia dalam hati anak-anak. Menginginkan agar matahari cepat menyambut pagi agar mereka cepat berangkat sekolah dan menginginkan senja tak kunjung datang karena mereka tak mau berpisah dengan ‘sekolah’
Sekolah dasar di sana saat ini menerapkan bermacam-macam aktifitas dalam sekolah. Membersihkan gedung sekolah sendiri agar anak-anak menjaga kebersihan, karena mereka paham beratnya membersihkan sekolah. Mereka mengangkut makanan untuk makan siang dan bersama-sama bertanggung jawab apabila makanan itu tumpah atau tidak habis agar mereka lebih menghargai segumpal nasi. Mereka secara bergiliran membagikan makanan kepada teman-teman. Mereka membuat peraturan di sekolah sendiri.
Anak-anak butuh dihargai. Anak-anak butuh didengar. Mereka butuh belajar menghargai dan memahami masalah orang lain. Biarkan anak-anak tumbuh sesuai usianya. Biarkan rasa ingin tahunya membimbingnya. Yang harus kita lakukan hanya mengawasinya dan jangan berani menghilangkan perhatian setetespun dari pendidikan anak. Semua yang kita lakukan harus bertujuan untuk pendidikan anak bangsa.
Ada hari lain yang sangat berkesan bagi Totto-chan. Hari itu, untuk pertama kalinya ia berenang di kolam renang. Tanpa mengenakan apa-apa!
Bukankah seharusnya aku memakai baju renang kalau berenang? pikir Totto-chan. Waktu pergi ke Kamakura bersama Mama dan Papa, ia membawa baju renang, ban pelampung dan perlengkapan renang lainnya. Ia berusaha mengingat-ingat, memangnya kemarin guru mereka berpesan agar mereka membawa baju renang?
Kemudian, seakan bisa membaca pikirannya, Kepala Sekolah berkata, “Jangan pikirkan baju renang. Pergi dan lihatlah di Aula.”
Ketika Totto-chan dan anak-anak kelas satu lainnya masuk ke Aula, anak-anak yang lebih besar sedang menjerit-jerit kegirangan sambil melepas pakaian mereka, seperti kalau mau mandi. Kemudian mereka berlari keluar dengan tubuh telanjang, susul-menyusul, ke halaman sekolah. Totto-chan dan kawan-kawannya segera meniru anak-anak itu.
Orang mungkin heran mengapa Kepala Sekolah membiarkan anak-anak berenang telanjang. Menurutnya tidak wajar jika anak laki-laki dan perempuan terlalu ingin tahu tentang perbedaan tubuh mereka, sampai melebihi batas kewajaran. Menurutnya pula, tidak wajar jika ada orang yang mati-matian berusaha menyembunyikan tubuh mereka dari orang lain.
Ia ingin mengajarkan kepada anak-anak bahwa semua tubuh itu indah. Di antara murid-murid Tomoe, ada anak yang menderita polio, seperti Yasuaki-chan, yang badannya sangat kecil, atau yang cacat. Kepala Sekolah berpendapat jika mereka bertelanjang dan bermain bersama, rasa malu mereka akan hilang dan itu akan membantu mereka menghilangkan rasa rendah diri. Pendapatnya terbukti. Mula-mula anak-anak yang cacat merasa malu, tapi perasaan itu segera hilang, dan akhirnya mereka benar-benar berhasil menghilangkan rasa malu mereka.
Kuroyanagi 1981: 70-73
Aku bertanya pada teman yang telah membacanya semasa sekolah mereka dulu. Namun mereka berpikiran dari sudut pandang Totto-chan. Sementara jika kalian memusatkan perhatian juga pada kepala sekolah dan Tomoe Gakuen, aku yakin kalian dapat melihat betapa hebatnya jika sebuah sekolah yang hanya bermodalkan gerbong kereta bekas menjadi pengaruh pendidikan sekolah dasar yang menjadikan bangsanya menjadi bangsa besar seperti sekarang.
Betapa jauhnya perbedaan kepedulian pemerintahan kita terhadap pendidikan. Bangsa mereka dengan cepat menanyakan jumlah guru dan buku yang tersisa setelah bencana dan cekatan dalam memperbaiki sarana pendidikan. Kepedulian masyarakat terhadap pendidikan dasar yang juga ikut mengawasi jalannya sistem pendidikan.
Selalu berdoa. Semoga Allah SWT. mengampuni dosa kita semua. Senantiasa menuntun kita ke jalan yang dianugerahinya. Semoga para pemimpin diberikan kekuatan, ketabahan, kesabaran. Semoga Allah SWT. memberikan hidayah pada pemimpin-pemimpin bangsa.
Semoga Allah SWT. membukakan pintu hati kita semua. Agar kita lebih peduli pada lingkungan. Pada keluarga kita. Pada pendidikan anak-anak kita. Pada bangsa dan negara. Semoga setiap insan nusantara mampu menjadi agen perubahan untuk bangsa Indonesia yang lebih besar. Untuk bangsa Indonesia yang lebih sadar akan segala kekurangannya.
Tampar kami sebelum terlambat!
Jayalah Indonesiaku.
Salam.
;)V