Di pagi yang cerah, di bawah pohon Nangka. 3 orang pria menirukan suara kendang, calung dan alat-alat musik lainnya demi mengiringi sang Ronggeng cilik menari, Srintil. Gadis sebelas tahun itu menari dengan gemulainya. Mata Sakarya, kakek Srintil pun menyaksikannya. Srintil yang di anggap telah kemasukan indang ronggeng, di serahkan pada Kartareja dan istrinya, dukun ronggeng di pedukuhan itu sebagai anak akuan. Senja yang telah ditunggu semua warga Dukuh Paruk. Dukuh Paruk yang bertahun-tahun tak pernah disambangi oleh seorang ronggeng, malam itu meriah oleh penampilan Srintil. Dan Dukuh Paruk kembali menemukan semangatnya dengan penampilan Srintil, anak yatim piatu Dukuh Paruk. Srintil kehilangan orang tuanya karena malapetaka yang terjadi di Dukuh Paruk saat ia bayi. Sebelas tahun yang lalu, tempe bongkrek buatan orang tua Srintil, Santayib dan istrinya, membunuh banyak orang dan anak-anak di Dukuh Paruk. Dan hanya karena ingin membuktikan bahwa tempe bongkreknya tak beracun, Santayib dan istrinya menantang maut dengan memakan tempe bongkrek itu. Anak-anak Dukuh Paruk lainnya pun harus kehilangan orang tua mereka termasuk Rasus, anak laki-laki yang pada saat itu berusia 3 tahun.
Kini, Srintil telah menjadi Calon Ronggeng Dukuh Paruk. Rasus, teman masa kecilnya, tidak tahu harus bereaksi apa dengan kondisi saat ini. Teman masa kecilnya tak bisa lagi bermain dengan bebas bersamanya. Ia kecewa dan tidak suka saat pria-pria dewasa Dukuh Paruk menari dan menyelipkan uang mereka ke dada Srintil. Sekarang banyak yang perhatian dan memperhatikannya. Ia mungkin tak membutuhkan Rasus dan teman-temannya lagi. Bahkan untuk mencuri perhatian Srintil, Rasus memberanikan diri membohongi neneknya, mencuri keris kecil milik almarhum ayahnya. Dan ternyata keris kecil itu adalah Kyai Jaran Guyang, pusaka Dukuh Paruk. Itu adalah pekasih yang dulu selalu menjadi jimat para ronggeng. Dengan keris itu Srintil akan menjadi ronggeng tenar.
Sudah dua bulan Srintil menjadi ronggeng, tetapi masih ada dua tahapan lagi sebelum ia berhak menyebut dirinya sebagai ronggeng yang sebenarnya. Pertama Upacara Pemandian di depan makam Ki Secamenggala, moyang seluruh warga Dukuh Paruk. Dan satu lagi tahap yang harus dilalui Srintil adalah bukak-klambu. Bukak-klambu adalah semacam sayembara, terbuka bagi laki-laki mana pun. Yang disayembarakan adalah keperawanan calon ronggeng. Laki-laki yang dapat menyerahkan sejumlah uang yang ditentukan oleh dukun ronggeng, berhak menikmati virginitas itu. Mengetahui itu, Rasus panas hatinya. Tak hanya cemburu, ia sakit hati sekaligus marah. Ia tak rela Srintil diperlakukan seperti barang. Kartareja mematok harga sebuah ringgit emas untuk keperawanan Srintil. Dower, pemuda dari Pecakalan, dan Sulam, anak lurah kaya dari kampung sebelah adalah pria yang mendatangkan uang untuk Srintil dan suami-istri Kartareja. Namun tanpa orang-orang ketahui, Srintil merelakan Rasus lebih dulu untuk menjadi pria yang mewisudakan ronggeng itu di belakang rumah Karatareja dalam kegelapan. Selanjutnya Dower kemudian Sulam menjadi orang kesekian yang termakan kelicikan Kartareja. Setelah bukak-klambu Srintil resmi menjadi ronggeng. Dan sejak itu Srintil semakin tenar. Tapi di lain pihak, Rasus seolah semakin membenci Dukuh Paruk. Kecintaannya terhadap Dukuh Paruk telah direnggut. Rasus tak lagi mampu meihat bayang ibunya yang selama ini ia lihat dari seorang Srintil sebelum gadis muda itu menjadi ronggeng. Kebenciannya membuat Rasus pergi dari Dukuh Paruk ke Dawuan, pasar yang memang tempat yang tepat untuk melarikan diri.
Dawuan menjadi saksi bisu perubahan pada diri Rasus. Pertemuannya dengan Sersan Slamet membawanya ke markas tentara. Dan ia menjalani hidupnya sebagai Topang. Di sisi lain, tentara banyak di salurkan ke daerah-daerah karena maraknya kasus perampokan. Semua rumah bisa menjadi sasaran para perampok. Tak terkecuali rumah Srintil di Dukuh Paruk. Tapi Rasus yang saat itu ditugaskan untuk menjaga Dukuh Paruk berhasil membunuh dua orang penjahat. Rasus yang kini seorang tentara menjadi kebanggaan Dukuh Paruk. Dan Srintil ingin menjadi istrinya, melahirkan bayinya dan menjadi perempuan seutuhnya. Namun dengan langkah mantap, matahari mengiringi Rasus saat ia meninggalkan semua itu. Menolak tawaran Srintil untuk hidup bersamanya. Dukuh Paruk dengan segala sebutan dan penghuninya ia tinggalkan. Tanah air kecilnya itu tidak lagi ia benci meskipun dulu ia telah bersumpah tidak akan memaafkannya karena pernah merenggut Srintil dari tangannya. Bahkan lebih dari itu. Rasus memberi kesempatan kepada pedukuhannya kembali kepada keasliannya. Dengan menolak perkawinan yang ditawarkan Srintil, ia memberi sesuatu yang paling berharga bagi Dukuh Paruk: ronggeng! Rasus terus melangkah meninggalkan Dukuh Paruk. Di belakangnya Dukuh Paruk diam membisu. Namun segalanya masih utuh disana ; keramat Ki Secamenggala, kemelaratan, sumpah-serapah, irama calung dan seorang ronggeng.
Mungkin novel ini memang novel lama, tapi sebuah karya sastra masih bisa dinikmati sampai kapan pun.
Pengarang : Ahmad Tohari
Penyunting : Ipong Purnama Sidhi
Judul asli : Ronggeng Dukuh Paruk
Bahasa : Bahasa Indonesia, Bahasa Banyumasan
Seri : Ronggeng Dukuh Paruk, Lintang Kemukus Dini Hari, Jantera Bianglala
Genre : Novel, Dewasa
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tahun rilis : 1982
Halaman : 174 halaman (buku pertama), 397 halaman (total)
ISBN : 9792201963
(source :
wikipedia)
Ahmad Tohari dalam novelnya “Ronggeng Dukuh Paruk” bermaksud menyampaikan pesan kepada para pembaca bahwa kita tidak boleh selalu menerima apa yang ditakdirkan alam tanpa usaha yang lebih dari sebelumnya. Kita tidak boleh memelihara kebodohan dan kemalasan dalam diri kita. Banyak hal di luar pengetahuan kita yang belum masuk dalam otak kita, bahkan diluar dugaan kita.
Penulis mencoba mengungkapkannya dengan menceritakan apa yang Rasus dapatkan setelah ia meninggalkan Dukuh Paruk. Ia sadar bahwa nilai-nilai atau norma yang ada di Dukuh Paruk, yang sejak lahir ia pelajari berbeda jauh dengan nilai-nilai di luar Dukuh Paruk bahkan bertentangan. Rasus juga mulai membuka pikirannya tentang sosok perempuan dalam hidupnya. Ia membandingkan antara Ronggeng Dukuh Paruk, sosok ibunya, dan sosok wanita diluar Dukuh Paruk. Sosok wanita yang tak mengenal nilai-nilai dan budaya yang berkembang di Dukuh Paruk. Selain itu dari kisah Srintil kita dapat belajar bahwa sebesar apapun kita, sesukses apapun kita, masih ada orang lain yang lebih sukses dan lebih tinggi. Tak semua hal dapat kita beli dengan uang. Tidak selalu semuanya berjalan lancar seperti yang telah kita rencanakan. Bahkan Srintil yang pernah merasakan berada di posisi yang membanggakan, menjadi Ronggeng Dukuh Paruk yang cantik dan memiliki banyak harta, harus merasakan kehilangan orang yang disayanginya. Seiring berjalannya waktu, alam dan sistem dilingkungannya tak lagi menganggap seorang Ronggeng menjadi sesuatu yang harus selalu diberi penghormatan berlebih, dipuja-puja dan selalu menjadi perhatian orang banyak.
Sebagai bentuk apresiasi, sebuah karya seni, apapun bentuknya, dapat kita kritik dengan berbagai cara salah satunya dengan pendekatan Feminisme. Pendekatan Feminisme sendiri merupakan pendekatan yang mendasarkan pada pandangan feminisme yang menginginkan adanya keadilan dalam memandang eksistensi perempuan.
Dalam novel ini, menulis berusaha mengangkat pandangan tentang sosok perempuan di ungkapkan dari kacamata Rasus, seorang pria asal Dukuh Paruk. Hal tersebut dapat dilihat dari jalan pikiran tokoh Rasus. Rasus menjalani hidupnya bersama ibu yang senantiasa berada dalam angan-angannya. Ia hanya bisa membayangkan, merangkai cerita yang ia dengar tentang ibunya dari nenek maupun dari orang-orang di Dukuh Paruk.
“Jadi ada dua versi kisah tentang Emak. Mana yang layak kupercaya aku sendiri selalu ragu. Namun setidaknya aku berharap, versi pertamalah yang benar. Artinya memang Emak meninggal. Mayatnya lalu dicincang untuk kepentingan penyelidikan. Pikiran durhaka semacam ini sengaja kudatangkan ke kepalaku. Kuharap orang akan mengerti andaikata versi itu benar, hakekatnya lebih baik daripada kebenaran versi kedua. Sayang, kedua-duanya tinggal menjadi ketidakpastian yang membuatku lebih merana daripada seorang yatim-piatu.”
“Dalam membayangkan pencincangan terhadap mayat Emak, aku tidak merasakan kengerian. Ini pengakuanku yang jujur. Sebab bayangan demikian masih lebih baik bagiku daripada bayangan lain yang juga mengusik angan-anganku. Itu andaikan Emak tidak meninggal melainkan pergi bersama si Mantri entah ke mana. Boleh jadi Emak hidup senang. Di luar Dukuh Paruk kehidupan selalu lebih baik; demikian keyakinanku sepanjang usia. Mantri yang selalu bertopi gabus, berpakaian putih-putih dengan kumis panjang itu mengawini Emak. Mereka beranak-pinak. Tentulah anak mereka berkulit bersih dengan betis montok dan selalu beralas kaki pula. Setiap hari mereka makan nasi putih dengan lauk yang enak. Anak-anak itu, yang hanya hidup dalam angan-anganku, pasti menganggap aneh kehidupan di Dukuh Paruk. Emak sendiri mungkin merasa malu menceriterakan perihal kampung halamannya kepada anaknya yang baru.”
“Ah, sebaiknya kukhayalkan Emak sudah mati. Ketika hidup dia secantik Srintil. Bila sedang tidur, tampillah Emak sebagai citra perempuan sejati. Ayu, teduh, dan menjadi sumber segala kesalehan, seperti Srintil yang saat itu masih telap memeluk keris kecil yang kuletakkan di sampingnya.”
Terkadang Rasus merasakan ibunya hadir memberi kesejukan padanya. Ia tak pernah meragukan keberadaan ibunya, seorang perempuan yang mengandung, melahirkan kemudian menyusuinya.
Selanjutnya sosok ibunya selalu ia samakan dengan Srintil, teman masa kecilnya yang juga merupakan gadis belia yang besar di Dukuh Paruk. Ia merasa Srintil ada perempuan cantik yang dewasa nanti akan menjadi perempuan sejati. Rasus merasa Srintil adalah gambaran yang tepat untuk ibunya. Lebih tepatnya sebelum Srintil memutuskan akan menjadi ronggeng. Ketika Srintil, yang melambangkan sosok perempuan dalam novel ini memutuskan menjadi Ronggeng Dukuh Paruk, segala hal yang harus Srintil lakukan sebagai syarat agar ia bisa menjadi ronggeng mengubah penilaian Rasus. Srintil sedikit demi sedikit menghancurkan bayang ibu Rasus dalam dirinya, membawa Rasus dalam kebimbangan. Pandangan Rasus terhadap sosok perempuan itu berubah. Bahkan ia sendiri hampir membayangkan bahwa sosok ibunya sama dengan perempuan-perempuan di Dukuh Paruk. Perempuan-perempuan yang selalu memuja ronggeng di pedukuhan kecil itu. Selalu berebut dengan ibu-ibu lainnya untuk memijat si ronggeng, membuatkannya makanan, dan berbagai macamnya.
“Perempuan-perempuan Dukuh Paruk itu! Kelak, sesudah aku tahu tentang perempuan luar kampung, aku bisa mengatakan perempuan Dukuh Paruk memang hebat. Dalam urusan ini aku bersyukur karena Emak telah lama lenyap dari pedukuhan itu. Kalau tidak, kukira Emak juga berbuat seperti semua perempuan Dukuh Paruk. Mereka bersaing dengan sesamanya melalui cara yang aneh.”
“Sesudah berlangsung malam bukak-klambu, Srintil tidak suci lagi. Soal dia kehilangan keperawanannya, tidak begitu berat kurasakan. Tetapi Srintil sebagai cermin tempat aku mencari bayangan Emak menjadi baur dan bahkan hancur berkeping.
Membayangkan bagaimana Srintil tidur bersama seorang laki-laki, sama menjijikkannya dengan membayangkan Emak melarikan diri bersama mantri itu. Aku muak. Aku tidak rela hal semacam itu terjadi.”
Dukuh Paruk telah merenggut Srintil dari Rasus dan menumbuhkan kebencian yang semakin dalam. Pelarian Rasus ke Dawuan membuka mata dan pikirannya. Hal-hal yang belum pernah ia lihat di Dukuh Paruk, ia pelajari di sana. Dan sekali lagi mengubah pemikiran Rasus akan sosok perempuan.
“Karena setiap pagi aku melayani Siti, maka aku mulai menyenanginya. Sikapnya yang malu-malu dan hampir menutup diri sering merangsang diriku untuk menggodanya. Sekali waktu aku tak berhasil mencegah tanganku yang lancang. Kerudung yang selalu menutupi kepala Siti kusingkapkan. Putih pipinya dan keindahan tengkuknya tak bertirai lagi. Tak ayal tanganku bergerak mencubit pipi putih itu.
Sedikit pun aku tak merasa bersalah berbuat demikian. Dukuh Paruk sepanjang usiaku mengatakan perkara mencubit pipi sama sekali tidak tabu, apalagi dosa. Kata ‘dosa’ sendiri baru kudengar setelah aku meninggalkan Dukuh Paruk. Tetapi karena kelancangan tangan itu aku mendapat pengalaman baru yang getir. Setelah kucubit pipinya, Siti membeliakkan mata. Pipinya merah rona. Gadis itu terpaku sejenak dengan tatapan mata menghunjam jantungku. Mula-mula aku senang karena dengan pipi merah itu Siti bertambah cantik. Namun aku jadi terkejut ketika Siti berlari dengan melemparkan singkong yang telah dibelinya.”
Di suatu kesempatan Rasus bertemu dengan ronggeng Dukuh Paruk itu lagi, Srintil. Dan saat itulah Srintil menunjukkan sosoknya yang bukan Srintil si ronggeng Dukuh Paruk lagi. Ia meminta pada Rasus untuk hidup dan tinggal bersamanya. Ia ingin menjadi istri Rasus dan melahirkan anak-anak. Tapi Rasus lebih memilih kembali ke pekerjaannya di markas tentara dan menolak menikahi Srintil.
Srintil yang dulu adalah seorang ronggeng Dukuh Paruk yang dapat dengan mudah mendapatkan apa yang ia inginkan seolah tak memiliki harga di depan Rasus. Srintil yang dulu di puja semua orang kini tak bisa menghentikan Rasus agar tak meninggalkannya. Srintil yang dulu diperebutkan banyak pria dan dibangga-banggakan, kini berubah karena nasib alam yang dibawa oleh kebodohan, kemelaratan dan segala sumpah-serapah Dukuh Paruk.
Berdasarkan analisis itulah, novel ini layak dinikmati karena dinilai baik dalam mengemas dan menuangkan serta mengungkapkan pandangan-pandangan feminisme yang menginginkan adanya keadilan dalam memandang eksistensi perempuan. Tidak selamanya kedudukan perempuan akan selalu sederajat ataupun lebih tinggi dari laki-laki. Tanpa pernah kita tahu, banyak perempuan yang tertindas oleh laki-laki baik karena ketidakmampuan perempuan itu sendiri, keadaan lingkungan ataupun benar-benar kesalahan darinya. Novel ini sangat menarik karena mengajarkan kita bahwa tidak semuanya dapat berjalan sesuai dengan rencana kita. Kita tidak bisa membeli semua hal yang kita inginkan saat kita merasa ada di atas. Karena sebenarnya masih ada yang kedudukannya lebih tinggi dari kita. Penulis juga berusaha mengingatkan bahwa masih banyak hal-hal diluar sana yang belum kita ketahui, nilai-nilai dan norma-norma serta pengetahuan yang dapat menyadarkan kita akan keburukan dan kekurangan kita.
Ana kidung rumeksa ing wengi
Teguh ayu luputing lara
Luputa bilahi kabeh
Jin setan datan purun
Paneluhan datan ana wani
Miwah penggawe ala
Gunaning wong luput
Geni atemahan tirta
Maling adoh tan ana ngarah mring mami
Guna duduk pan sirna...
Adalah gita penjaga sang malam.
Tetaplah selamat, lepas dari segala petaka.
Luputlah segala mara bencana.
Jin dan setan takkan mengharu-biru,
teluh takkan mengena.
Serta segala perilaku jahat,
Ilmu para manusia sesat.
Padam seperti api tersiram air.
Pencuri takkan membuatku menjadi sasaran.
Guna-guna serta penyakit akan sirna...
Jaya Indonesiaku!
Salam. ;)V