Resensi
Judul: An Artist of the Floating World
Pengarang: Kazuo Ishiguro
Penerjemah: Rahma Wulandari
Penerbit: Elex Media Komputindo, 2013
Tebal: 226 halaman
Jika pada suatu hari yang cerah, kau mendaki jalan curam ke
arah bukit dari jembatan kayu kecil yang dikenal sebagai “Jembatan Keraguan”,
kau akan mendapati atap rumahku tampak di antara ujung dua pohon gingko.
Bahkan, meskipun posisi rumahku tidak terlalu strategis, bangunan itu masih
akan tetap mencolok dibandingkan dengan rumah lain di sekitarnya, dan kau akan
mendapati dirimu membayangkan sekaya apa pemiliknya.
Namun, aku bukan, dan juga tidak pernah, menjadi orang kaya.
Aku membeli rumah ini pada masa sebelum perang dari seorang hebat, Akira
Sugimura, dengan harga murah. Tentu dengan negosiasi dan berbagai investigasi
yang ditujukan keluarga Akira padaku. Mereka ingin menyerahkan rumah itu pada
orang yang tepat. Dan sampai akhir perang, aku tinggal di rumah ini hanya
bersama anak ketigaku, seorang wanita yang saat ini sedang bernegosiasi
mengenai pernikahan. Istri dan putra pertamaku terbunuh saat perang, sementara
anak keduaku telah tinggal bersama suaminya jauh dari rumahku. Karena perang
pulalah, aku banyak menghabiskan waktu berdiam diri dirumah, merenovasi rumah
dengan banyak kerusakannya, dan menikmati masa tuaku.
Di rumah ini aku mengenang kehidupanku saat aku masih menjadi
seorang pelukis yang butuh bimbingan
hingga sekarang menjadi seorang kakek yang
sedang menjalani masa pensiunnya. Mengenang saat aku diterima di firma Tuan
Takeda. Bekerja menghasilkan banyak lukisan dan mengambil banyak pelajaran
kehidupan darinya. Hingga Si Kura-Kura, yang tak mampu menyesuaikan diri dengan
kami yang mampu menghasilkan banyak lukisan dalam waktu singkat, membuatku
pindah dan keluar dari firma itu. Kami bersama datang ke villa Tuan Mori dan
melanjutkan pembelajaran mengenai seni lukis di sana. Masih kuingat suatu malam
saat aku memutuskan untuk tak lagi menjadi seniman di dunia awang-awang dan
pergi dengan kepercayaan dari Tuan Mori bahwa aku dapat menjalani kehidupan di
luar sana.
Aku masih mengingat kolega-kolegaku di Kedai Mrs
Kawakami di Migi-Hidari. Tempat kami berkumpul dan bertukar pikiran mencoba
mempertahankan kedai dari sebelum perang pecah hingga akhirnya kini di atas
tanah yang dulu berdiri kedai Mrs Kawakami telah berdiri kokoh gedung-gedung
tinggi. Keoptimisan kami ternyata tidak mampu mempertahankan tempat investasi
kami di tengah kondisi Jepang yang berusaha bangkit dari kekalahan dalam
perang.
Selain itu, hal penting lainnya yang sangat kuat ada di
ingatanku mengenai negosiasi pernikah putri bungsuku dengan keluarga Miyake
yang gagal sesaat sebelum perang hingga negosiasi dengan keluarga Dr Saito yang
berjalan lancar.
Suasana Jepang pulih dengan cepat dalam beberapa tahun ini,
hatiku dipenuhi dengan kebahagiaan yang murni. Tampaknya, apapun kesalahan yang
sempat diperbuat di masa lalu oleh bangsa kita, kini mendapatkan kesempatan
baru untuk direlakan. Kita hanya dapat mendoakan yang terbaik untuk para pemuda
ini.
Amanat
“Belajar di firma Takeda,” kataku pada mereka, “telah
memberikan sebuah pelajaran penting lebih awal dalam hidupku. Saat itu, memang
benar kita harus menghormati seorang guru, dan mempertanyakan wewenang mereka
juga sangat penting. Pengalamanku di firma Takeda mengajarkanku agar jangan
pernah mengikuti arus dengan membabi buta, namun harus mempertimbangkan
benar-benar ke mana arah itu mendorongku. Dan ada satu hal yang ingin
kutekankan untuk kalian lakukan, terbanglah di atas semua gelombang kehidupan.
Lewatilah semua pengaruh kemunduran dan yang tidak diinginkan yang telah
menenggelamkan kita dan melemahkan saraf bangsa kita begitu rupa selama
sepuluh, lima belas tahun terakhir ini.” (halaman 80-81)
“Judulnya: “Semangat Patriotisme”, sebuah judul yang mungkin
akan membuat kau membayangkan lukisan berisi para tentara sedang berbaris atau
semacamnya. Tentu saja, intisari lukisan Kuroda menekankan bahwa semangat
patriotisme dimulai dari tempat yang tak terduga, dalam rutinitas kehidupan
kita sehari-hari, di tempat kita minum-minum bersama dan teman-teman yang
bergaul dengan kita. (halaman 82)